Perbedaan adalah rahmat karena dari situ kita bisa belajar untuk saling memahami satu sama lain. Tulisan ini diinspirasi ketika menikmati waktu senggang ke mal bersama kawan untuk melepaskan penat di kepala yang selalu datang menyerang akibat banyaknya tugas bacaan dan respon paper dari kampus yang telah mendekati deadline.
Singkat kata sang kawan ingin salat Ashar, sehingga saya bergegas menemaninya ke Musholla. Kemudian saya bilang kepadanya bahwa, maaf saya tidak salat Ashar karena sebelumnya saya telah menjamak salat saya di rumah. Saya pribadi menjamak salat saya atas beberapa pertimbangan matang dan logis sebelumnya, meskipun secara fikih mungkin tidak bisa diterima.
Sang kawan pun sangat welcome dengan pernyataan saya, saya lantas merasa senang akan itu, meskipun sebelumnya saya khawatir akan resistensi yang akan saya dapatkan dari dia. Momen ini lagi-lagi mengajarkan saya tentang indahnya keberagaman dalam toleransi, meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) bahwa, akhlak harus didahulukan daripada fikih dan kawan saya telah melakukan itu kepada saya.
Melihat realitas social lebih jauh bahwa terkadang, perbedaan kecil dan sepele dalam memahami agama dapat menciptakan sebuah ekses yang masif, sehingga maksud hati membela agama, tetapi disisi lain justru melecehkan nilai agama itu sendiri. Lantas muncul pertanyaan, Mengapa perbedaan pendapat dalam beragama kerap kali menjadi pemicu konflik, bukankah perbedaan adalah sebuah keniscayaan???Bagaimana mengelola perbedaan ini???
Perbedaan dalam Islam
Tak dipungkiri setelah kematian Nabi Muhammad, umat Islam mengalami perpecahan di dalamnya disebabkan hilangnya figur nabi yang sepenuhnya menguasai seluk beluk isi Al Qur’an. Setelah itu, muncul banyak perpecahan di dalamnya akibat perbedaan dalam menafsirkan suatu hal dan mencapai puncaknya ketika Khalifah Usman terbunuh dan kemudian muncullah Khalifah Ali sebagai penerus tugas kekhalifahan.
Muawiyah sebagai keluarga dekat Usman lalu melakukan protes kepada Ali agar mencari tahu siapa pembunuh Usman. Singkat kata terjadilah perpecahan dalam tubuh Islam dimana kubu Ali melawan kubu Muawiyah. Dalam perang tersebut yang kita kenal sebagai perang Shiffin, kubu Muawiyah menyerah lalu mengangkat al-Qur’an sebagai symbol tanda perdamaian. Ali lalu menolerir itu, tetapi ada saja kubu yang tidak senang atas apa yang dilakukan Ali ketika dengan mudah memaafkan kubu Muawiyah, sehingga diinspirasi dari hal ini, Kaum Khawarij yang merasa kecewa lalu membuat rencana untuk membunuh Ali dan akhirnya Ali tewas terbunuh ketika ingin menginjakkan kakinya ke dalam Mesjid. Ironisnya, pembunuhan ini dilakukan dengan keji ketika Ali berniat memenuhi panggilan Tuhan (Allah) untuk shalat.
Di samping itu, ketika pada zaman Abbasiyah yang dikenal sebagai puncak peradaban Islam khususnya dalam ilmu pengetahuan. Ilmuwan Muslim pada waktu itu di bawah pemerintahan Al-Makmun, dengan bantuan Hunain Bin Ishak yang notabene adalah seorang Kristen yang mendapatkan perintah langsung dari Al Makmun, lalu menerjemahkan karya-karya Helenisme dibantu oleh beberapa penerjemah brillian dari Baghdad dan beberapa wilayah kerajaan. Mereka juga pergi ke Iran dan India untuk mengumpulkan semua karya-karya masterpiece dan kemudian dipelajari kembali dan akhirnya reproduksi sebagai sarana meningkatkan intelektualitas khalayak luas pada waktu itu. (Fatima Mernissi, 1994: 44).
Selain itu, ilmuwan dan filosof seperti Al-Farabi, Al-Razi, Al-Kindi, dll yang hidup di zaman kekhalifahan Abbasiyah, dengan terbuka mengadopsi pemikiran filsafat-filsafat Yunani dilandasi oleh semangat islam yang mengedepankan kosmopolitanisme, hal ini juga diperkuat oleh apa yang dicontohkan oleh Nurcholish Madjid bahwa:
“Para ilmuwan dan filosof Muslim tersebut dalam semangat pencarian ilmu pengetahuan dan kebebasan inilah banyak menguji preposisi keagamaan di bawah sorotan akal budi, untuk mengambil mana saja dari hasil pengujian tersebut yang diterima oleh akal.” (Nurcholish Madjid, 1998: 298)
Hal ini juga diamini oleh oleh Ade Buchori bahwa:
“Sikap keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dan kesediaan mereka untuk belajar dari siapa saja, kapan saja dan di mana saja akhirnya mampu mengeluarkan ilmu pengetahuan filsafat dari kungkungan lokalitasnya dimana para ilmuwan dan filosof Muslim ini menampilkan ilmu pengatahuan dan clan filsafat pada level dunia, yaitu mengangkatnya menjadi kekayaan dan khazanah milik semua bangsa-bangsa” (Ade Buchori. 2006: 210).
Akan tetapi, ketika Dinasti Abbasiyah masuk dalam jebakan kekuasaan, segala pemikiran-pemikiran rasional cenderung dimusuhi dan dibumi hanguskan. Para pemikir rasional tersebut hidup dibawah ancaman dan diskriminasi dari Khalifah (Fatima Mernissi, Op. cit., p.45). Dinasti Abbasiyah lalu menciptakan sebuah doktrin yang cenderung mengedepankan ketaatan buta kepada pemimpin dan juga kepada agama disertai tradisi despotisme dan keberingasan oleh para Imam, sehingga hal inilah menjadi tonggak awal hilangnya tradisi keilmuan dalam Islam menuju abad kegelapan.
Tentunya apabila melihat semua masalah di atas dengan kritis, dapat dikatakan bahwa perbedaan yang berujung pada kekerasan itu pada dasarnya dilandasi oleh kepentingan politik para elitnya. Mereka hanya sibuk menonjolkan perbedaan yang hanya secuil lantas melupakan berjuta persamaan yang mereka miliki. Mereka tidak sadar bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Karena pada hakikatnya kita hanya memungut kebenaran-kebenaran Tuhan yang berserakan, sehingga wajar ketika dikatakan bahwa manusia adalah makhluk relatif dan terbatas yang sesungguhnya hanya mengetahui secuil dari rahasia-rahasia Tuhan yang tersembunyi di alam semesta ini. Justru, karena keterbatasan itulah, manusia dituntut untuk bekerja sama dalam keberagaman untuk mengungkap rahasia-rahasia Tuhan yang tersembunyi.
Ada kecenderungan, para ‘elit’ agama kita hanya sibuk berkubangan dalam politik praktis dengan menggunakan bahasa-bahasa agama secara serampangan untuk menyerang lawan-lawan mereka, tidak lain tidak bukan agar mereka dapat menguasai ruang publik, meminjam istilah Habermas dalam Zuly Qodir (2009: 148), intelektual Jerman ini mengintrodusir bahwa ruang publik merupakan sebuah arena untuk memenangkan sebuah tafsir dan kemudian dijadikan sebagai sebuah hegemoni. Mereka sadar betul bahwa ketika mereka mampu menguasai bahasa-bahasa agama dalam ruang publik menurut interpretasi mereka sebagai “sebuah sistem aturan (code), maka mereka akan dengan mudah mengendalikan budaya dan cara berpikir seseorang” (Claire Kramsch, 1998: 14), sehingga mampu mempermudah langkah mereka dalam mencapai puncak tertinggi kekuasaan.
Ketika mereka telah duduk dalam puncak kekuasaan, mereka lalu lupa akan kebutuhan utama umat di tengah caruk maruknya kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini. Umat lalu mengalami kebingungan, sehingga mereka bingung mencari figur tepat untuk dijadikan tempat konsultasi dan meminta bimbingan. Kebingungan umat tersebut seperti yang dikatakan kawan saya Ahmad Sahide (2010: 42) akhirnya menjerumuskan mereka kepada ‘nabi-nabi palsu’ yang banyak merebak akhir-akhir ini.
Para ‘elit’ agama kita terkadang mengalami ‘amnesia’ akan sejarah awal diturunkannya agama Islam sebagai gerakan kritik terhadap penguasa-penguasa kejam dan lalim dimana Nabi Muhammad tampil sebagai garda terdepan. Sebaliknya, realitas akhir-akhir ini menunjukkan bahwa para ‘elit’ agama malah tampil sebagai penguasa kejam dan lalim yang sesungguhnya sangat ditentang oleh Rasul sendiri. Tetapi dengan menggunakan topeng dan simbol-simbol agama, mereka akhirnya mampu menyembunyikan wajah borok mereka. Mereka juga terkadang lupa akan kewajiban dalam menjadikan Islam sebagai agama modern, meminjam istilah Jose Cassanova (1992) bahwa agama modern adalah agama yang mampu menjawab tantangan zaman.
Selain dalam tataran elit agama, akhir-akhir ini dunia kampus yang merupakan lembaga pencetak intelektual-intelektual Muslim, dipenuhi oleh gerakan-gerakan keagamaan melalui media mesjid kampus yang kebanyakan doktrin-doktrinnya cenderung ‘radikal’ dengan banyak menonjolkan hal-hal yang kejam, anti-perbedaan dan menginginkan keseragaman. Seperti beberapa pengalaman kawan-kawan saya khususnya kaum perempuan, bahwa munculnya banyak tarbiyah-tarbiyah di kampus akhir-akhir ini lebih mengedepankan sejenis ancaman bahwa barang siapa yang tidak menggunakan jilbab maka mereka kelak akan dibakar di api neraka, selain itu, perempuan yang masih menggunakan ‘jeans’ sering dikucilkan karena mereka dianggap tidak islami. Pertanyaannya, apakah batasan-batasan seseorang sehingga dikatakan islami???dan siapakah yang berhak menentukan seseorang itu Islami atau tidak?
Para motor gerakan-gerakan keagamaan di kampus lupa bahwa dunia kampus adalah mimbar terbuka yang penuh dengan dinamika dan mengedepankan dialog dengan mengedepankan akal sehat bukan dogma. Mengapa gerakan-gerakan tersebut ‘lupa’ memberikan bekal pengetahuan kepada umat akan bagaimana mereka mampu menaklukkan dunia kerja kelak, yang penuh dengan persaingan, agar terselamatkan dari jurang kemiskinan, bukankah kemiskinan dekat dengan kekafiran?dan bukankah agama mencakup segala hal?Kalau begitu menurut hemat saya, gerakan tersebut lebih condong kepada misi menyebarkan ideologi yang sempit, bukannya agama yang sesungguhnya membebaskan dan memerdekakan.
Mengelola perbedaan
Perbedaan adalah keniscayaan, di satu sisi mampu menciptakan kekuatan tapi di sisi lain mampu menciptakan perpecahan, untuk mengurangi perpecahan ini, saatnya kita harus memikirkan kembali hal tersebut agar Islam mampu kembali pada fitrahnya sebagai Rahmatan Lil Alamin (Rahmat bagi semesta alam).
Pertama, para ‘elit’ agama kita harus mampu mengendalikan nafsu kekuasaan mereka, mereka dituntut mampu membaca realitas social, seperti yang dilakukan KH.Ahmad Dahlan. Beliau mencontohkan bahwa bagaimana esensi Islam mampu menghidupkan semangat beliau dalam menyantuni para fakir miskin yang hidup di sekitar mereka ketimbang terjebak dalam perdebatan kusir yang melelahkan.
Kedua, perlunya mengkontekstualisasikan agama dengan mensinergikan substansi dan nilai-nilai islam seperti kejujuran, keadilan, kecendekiaan, kedamaian, dll dalam menjawab tantangan-tantangan global yang melanda kita akhir-akhir ini. Kenyataan akhir-akhir ini, para elit agama cenderung lebih mencari-cari perbedaan daripada mencari persamaan yang pada akhirnya menciptakan keresahan dan ketidakdamaian.
Ketiga, perlunya menghidupkan dialog yang mengedepankan kekuatan akal budi, tanpa harus terjebak dalam kekuatan dengkul dan dogma, dari dialog ini diharapkan setiap pihak mampu saling belajar satu sama lain agar mampu menjadi sumber pencerahan.
Keempat, NU dan Muhammadiyah yang mewakili mainstream Islam Indonesia yang dikenal progresif dan moderat, dituntut untuk meneruskan misi dakwah kultural dari pendiri mereka, yaitu KH. Hasyim Ashari dan KH. Ahmad Dahlan melalui media pendidikan yang demokratis dan membebaskan bagi umat, tanpa harus terjebak dalam kepentingan politik sesaat dan ideologi yang sempit.
Kelima, para elit agama harus mampu merasa konfiden (percaya diri) dalam menyikapi perbedaan. Kenyataan akhir-akhir ini, banyak elit agama mengalami sejenis inferiority complex (perasaan rendah diri) ketika menerima perbedaan karena merasa status quo nya terancam. Mereka seharusnya mengedepankan akhlak daripada fikih, meminjam apa yang dikatakan Kang Jalal.
Keenam, gerakan-gerakan keagamaan khususnya berbasis kampus, harus mereposisi peran mereka, mereka dituntut menjadi gerakan yang membawa semangat pencerahan, bukan sebagai gerakan yang ekslusif yang berlomba-lomba memperbanyak ‘massa’.
Perlu direnungkan apa yang dikatakan Komaruddin Hidayat (2010) bahwa “dengan beragama, seseorang harusnya menjadi pribadi yang mendatangkan rasa nyaman dan aman bagi semua sehingga ia akan malu untuk mudah marah. Apalagi marah dengan dan atas nama Tuhan. Padahal, sesungguhnya akar soalnya ada pada diri sendiri.”
Yogyakarta, 8 Desember 2010
Bibliography:
Buchori, Ade. (2006). Traktat Pluralisme Agama Nurcholish Madjid dalam Abdul Halim (ed), Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan Yang Membebaskan: Refleksi Atas Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta: Kompas.
Cassanova, Jose. (2001). Agama di Ruang Publik: Kehidupan Dunia di Alam Modern. Malang: Resist Book.
Hidayat, Komaruddin. (2010). 250 Wisdoms: Membuka Mata, Menangkap Makna. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Madjid, Nurcholish. (1998). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Mernissi, Fatima. (1994). Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan. Yogyakarta: LKIS.
Sahide, Ahmad. (2010). Kebebasan dan Moralitas. Yogyakarta: The Phinisi Press.
Qodir, Zuly. (2009). Kontekstualisasi Religiusitas dan Kotestasi Publik: Agama di Dunia Modern. Dalam Irwan Abdullah, Wening Udasmoro, dan Hasse J (eds), Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: TICI Publications bekerja sama Pustaka Pelajar.