Berbeda Tapi Indah

Perbedaan adalah rahmat karena dari situ kita bisa belajar untuk saling memahami satu sama lain. Tulisan ini diinspirasi ketika menikmati waktu senggang ke mal bersama kawan untuk melepaskan penat di kepala yang selalu datang menyerang akibat banyaknya tugas bacaan dan respon paper dari kampus yang telah mendekati deadline.

Singkat kata sang kawan ingin salat Ashar, sehingga saya bergegas menemaninya ke Musholla. Kemudian saya bilang kepadanya bahwa, maaf saya tidak salat Ashar karena sebelumnya saya telah menjamak salat saya di rumah. Saya pribadi menjamak salat saya atas beberapa pertimbangan matang dan logis sebelumnya, meskipun secara fikih mungkin tidak bisa diterima.

Sang kawan pun sangat welcome dengan pernyataan saya, saya lantas merasa senang akan itu, meskipun sebelumnya saya khawatir akan resistensi yang akan saya dapatkan dari dia. Momen ini lagi-lagi mengajarkan saya tentang indahnya keberagaman dalam toleransi, meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) bahwa, akhlak harus didahulukan daripada fikih dan kawan saya telah melakukan itu kepada saya.

Melihat realitas social lebih jauh bahwa terkadang, perbedaan kecil dan sepele dalam memahami agama dapat menciptakan sebuah ekses yang masif, sehingga maksud hati membela agama, tetapi disisi lain justru melecehkan nilai agama itu sendiri. Lantas muncul pertanyaan, Mengapa perbedaan pendapat dalam beragama kerap kali menjadi pemicu konflik, bukankah perbedaan adalah sebuah keniscayaan???Bagaimana mengelola perbedaan ini???

Perbedaan dalam Islam

Tak dipungkiri setelah kematian Nabi Muhammad, umat Islam mengalami perpecahan di dalamnya disebabkan hilangnya figur nabi yang sepenuhnya menguasai seluk beluk isi Al Qur’an. Setelah itu, muncul banyak perpecahan di dalamnya akibat perbedaan dalam menafsirkan suatu hal dan mencapai puncaknya ketika Khalifah Usman terbunuh dan kemudian muncullah Khalifah Ali sebagai penerus tugas kekhalifahan.

Muawiyah sebagai keluarga dekat Usman lalu melakukan protes kepada Ali agar mencari tahu siapa pembunuh Usman. Singkat kata terjadilah perpecahan dalam tubuh Islam dimana kubu Ali melawan kubu Muawiyah. Dalam perang tersebut yang kita kenal sebagai perang Shiffin, kubu Muawiyah menyerah lalu mengangkat al-Qur’an sebagai symbol tanda perdamaian. Ali lalu menolerir itu, tetapi ada saja kubu yang tidak senang atas apa yang dilakukan Ali ketika dengan mudah memaafkan kubu Muawiyah, sehingga diinspirasi dari hal ini, Kaum Khawarij yang merasa kecewa lalu membuat rencana untuk membunuh Ali dan akhirnya Ali tewas terbunuh ketika ingin menginjakkan kakinya ke dalam Mesjid. Ironisnya, pembunuhan ini dilakukan dengan keji ketika Ali berniat memenuhi panggilan Tuhan (Allah) untuk shalat.

Di samping itu, ketika pada zaman Abbasiyah yang dikenal sebagai puncak peradaban Islam khususnya dalam ilmu pengetahuan. Ilmuwan Muslim pada waktu itu di bawah pemerintahan Al-Makmun, dengan bantuan Hunain Bin Ishak yang notabene adalah seorang Kristen yang mendapatkan perintah langsung dari Al Makmun, lalu menerjemahkan karya-karya Helenisme dibantu oleh beberapa penerjemah brillian dari Baghdad dan beberapa wilayah kerajaan. Mereka juga pergi ke Iran dan India untuk mengumpulkan semua karya-karya masterpiece dan kemudian dipelajari kembali dan akhirnya reproduksi sebagai sarana meningkatkan intelektualitas khalayak luas pada waktu itu. (Fatima Mernissi, 1994: 44).

Selain itu, ilmuwan dan filosof seperti Al-Farabi, Al-Razi, Al-Kindi, dll yang hidup di zaman kekhalifahan Abbasiyah, dengan terbuka mengadopsi pemikiran filsafat-filsafat Yunani dilandasi oleh semangat islam yang mengedepankan kosmopolitanisme, hal ini juga diperkuat oleh apa yang dicontohkan oleh Nurcholish Madjid  bahwa:

“Para ilmuwan dan filosof Muslim tersebut dalam semangat pencarian ilmu pengetahuan dan kebebasan inilah banyak menguji preposisi keagamaan di bawah sorotan akal budi, untuk mengambil mana saja dari hasil pengujian tersebut yang diterima oleh akal.” (Nurcholish Madjid, 1998: 298)

Hal ini juga diamini oleh oleh Ade Buchori bahwa:

“Sikap keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dan kesediaan mereka untuk belajar dari siapa saja, kapan saja dan di mana saja akhirnya mampu mengeluarkan ilmu pengetahuan filsafat dari kungkungan lokalitasnya dimana para ilmuwan dan filosof  Muslim ini menampilkan ilmu pengatahuan dan clan filsafat pada level dunia, yaitu            mengangkatnya menjadi kekayaan dan khazanah milik semua bangsa-bangsa” (Ade Buchori. 2006: 210).

Akan tetapi, ketika Dinasti Abbasiyah masuk dalam jebakan kekuasaan, segala pemikiran-pemikiran rasional cenderung dimusuhi dan dibumi hanguskan. Para pemikir rasional tersebut hidup dibawah ancaman dan diskriminasi dari Khalifah (Fatima Mernissi, Op. cit., p.45). Dinasti Abbasiyah lalu menciptakan sebuah doktrin yang cenderung mengedepankan ketaatan buta kepada pemimpin dan juga kepada agama disertai tradisi despotisme dan keberingasan oleh para Imam, sehingga hal inilah menjadi tonggak awal hilangnya tradisi keilmuan dalam Islam menuju abad kegelapan.

Tentunya apabila melihat semua masalah di atas dengan kritis, dapat dikatakan bahwa perbedaan yang berujung pada kekerasan itu pada dasarnya dilandasi oleh kepentingan politik para elitnya. Mereka hanya sibuk menonjolkan perbedaan yang hanya secuil lantas melupakan berjuta persamaan yang mereka miliki. Mereka tidak sadar bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Karena pada hakikatnya kita hanya memungut kebenaran-kebenaran Tuhan yang berserakan, sehingga wajar ketika dikatakan bahwa manusia adalah makhluk relatif dan terbatas yang sesungguhnya hanya mengetahui secuil dari rahasia-rahasia Tuhan yang tersembunyi di alam semesta ini. Justru, karena keterbatasan itulah, manusia dituntut untuk bekerja sama dalam keberagaman untuk mengungkap rahasia-rahasia Tuhan yang tersembunyi.

Ada kecenderungan, para ‘elit’ agama kita hanya sibuk berkubangan dalam politik praktis dengan menggunakan bahasa-bahasa agama secara serampangan untuk menyerang lawan-lawan mereka, tidak lain tidak bukan agar mereka dapat menguasai ruang publik, meminjam istilah Habermas dalam Zuly Qodir  (2009: 148), intelektual Jerman ini mengintrodusir bahwa ruang publik merupakan sebuah arena untuk memenangkan sebuah tafsir dan kemudian dijadikan sebagai sebuah hegemoni. Mereka sadar betul bahwa ketika mereka mampu menguasai bahasa-bahasa agama dalam ruang publik menurut interpretasi mereka sebagai “sebuah sistem aturan (code), maka mereka akan dengan mudah mengendalikan budaya dan cara berpikir seseorang” (Claire Kramsch, 1998: 14), sehingga mampu mempermudah langkah mereka dalam mencapai puncak tertinggi kekuasaan.

Ketika mereka telah duduk dalam puncak kekuasaan, mereka lalu lupa akan kebutuhan utama umat di tengah caruk maruknya kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini. Umat lalu mengalami kebingungan, sehingga mereka bingung mencari figur tepat untuk dijadikan tempat konsultasi dan meminta bimbingan. Kebingungan umat tersebut seperti yang dikatakan kawan saya Ahmad Sahide (2010: 42) akhirnya menjerumuskan mereka kepada ‘nabi-nabi palsu’ yang banyak merebak akhir-akhir ini.

Para ‘elit’ agama kita terkadang mengalami ‘amnesia’ akan sejarah awal diturunkannya agama Islam sebagai gerakan kritik terhadap penguasa-penguasa kejam dan lalim dimana Nabi Muhammad tampil sebagai garda terdepan. Sebaliknya, realitas akhir-akhir ini menunjukkan bahwa para ‘elit’ agama malah tampil sebagai penguasa kejam dan lalim yang sesungguhnya sangat ditentang oleh Rasul sendiri. Tetapi dengan menggunakan topeng dan simbol-simbol agama, mereka akhirnya mampu menyembunyikan wajah borok mereka.  Mereka juga terkadang lupa akan kewajiban dalam menjadikan Islam sebagai agama modern, meminjam istilah Jose Cassanova (1992) bahwa agama modern adalah agama yang mampu menjawab tantangan zaman.

Selain dalam tataran elit agama, akhir-akhir ini dunia kampus yang merupakan lembaga pencetak intelektual-intelektual Muslim, dipenuhi oleh gerakan-gerakan keagamaan melalui media mesjid kampus yang kebanyakan doktrin-doktrinnya cenderung ‘radikal’ dengan banyak menonjolkan hal-hal yang kejam, anti-perbedaan dan menginginkan keseragaman. Seperti beberapa pengalaman kawan-kawan saya khususnya kaum perempuan, bahwa munculnya banyak tarbiyah-tarbiyah di kampus akhir-akhir ini lebih mengedepankan sejenis ancaman bahwa barang siapa yang tidak menggunakan jilbab maka mereka kelak akan dibakar di api neraka, selain itu, perempuan yang masih menggunakan ‘jeans’ sering dikucilkan karena mereka dianggap tidak islami. Pertanyaannya, apakah batasan-batasan seseorang sehingga dikatakan islami???dan siapakah yang berhak menentukan seseorang itu Islami atau tidak?

Para motor gerakan-gerakan keagamaan di kampus lupa bahwa dunia kampus adalah mimbar terbuka yang penuh dengan dinamika dan mengedepankan dialog dengan mengedepankan akal sehat bukan dogma. Mengapa gerakan-gerakan tersebut ‘lupa’ memberikan bekal pengetahuan kepada umat akan bagaimana mereka mampu menaklukkan dunia kerja kelak, yang penuh dengan persaingan, agar terselamatkan dari jurang kemiskinan, bukankah kemiskinan dekat dengan kekafiran?dan bukankah agama mencakup segala hal?Kalau begitu menurut hemat saya, gerakan tersebut lebih condong kepada misi menyebarkan ideologi yang sempit, bukannya agama yang sesungguhnya membebaskan dan memerdekakan.

Mengelola perbedaan

Perbedaan adalah keniscayaan, di satu sisi mampu menciptakan kekuatan tapi di sisi lain mampu menciptakan perpecahan, untuk mengurangi perpecahan ini, saatnya kita harus memikirkan kembali hal tersebut agar Islam mampu kembali pada fitrahnya sebagai Rahmatan Lil Alamin (Rahmat bagi semesta alam).

Pertama, para ‘elit’ agama kita harus mampu mengendalikan nafsu kekuasaan mereka, mereka dituntut mampu membaca realitas social, seperti yang dilakukan KH.Ahmad Dahlan. Beliau mencontohkan bahwa bagaimana esensi Islam mampu menghidupkan semangat beliau dalam menyantuni para fakir miskin yang hidup di sekitar mereka ketimbang terjebak dalam perdebatan kusir yang melelahkan.

Kedua, perlunya mengkontekstualisasikan agama dengan mensinergikan substansi dan nilai-nilai islam seperti kejujuran, keadilan, kecendekiaan, kedamaian, dll dalam menjawab tantangan-tantangan global yang melanda kita akhir-akhir ini. Kenyataan akhir-akhir ini, para elit agama cenderung lebih mencari-cari perbedaan daripada mencari persamaan yang pada akhirnya menciptakan keresahan dan ketidakdamaian.

Ketiga, perlunya menghidupkan dialog yang mengedepankan kekuatan akal budi, tanpa harus terjebak dalam kekuatan dengkul dan dogma, dari dialog ini diharapkan setiap pihak mampu saling belajar satu sama lain agar mampu menjadi sumber pencerahan.

Keempat, NU dan Muhammadiyah yang mewakili mainstream Islam Indonesia yang dikenal progresif dan moderat, dituntut untuk meneruskan misi dakwah kultural dari pendiri mereka, yaitu KH. Hasyim Ashari dan KH. Ahmad Dahlan melalui media pendidikan yang demokratis dan membebaskan bagi umat, tanpa harus terjebak dalam kepentingan politik sesaat dan ideologi yang sempit.

Kelima, para elit agama harus mampu merasa konfiden (percaya diri) dalam menyikapi perbedaan. Kenyataan akhir-akhir ini, banyak elit agama mengalami sejenis inferiority complex (perasaan rendah diri) ketika menerima perbedaan karena merasa status quo nya terancam. Mereka seharusnya mengedepankan akhlak daripada fikih, meminjam apa yang dikatakan Kang Jalal.

Keenam, gerakan-gerakan keagamaan khususnya berbasis kampus, harus mereposisi peran mereka, mereka dituntut menjadi gerakan yang membawa semangat pencerahan, bukan sebagai gerakan yang ekslusif yang berlomba-lomba memperbanyak ‘massa’.

Perlu direnungkan apa yang dikatakan Komaruddin Hidayat (2010) bahwa “dengan beragama, seseorang harusnya menjadi pribadi yang mendatangkan rasa nyaman dan aman bagi semua sehingga ia akan malu untuk mudah marah. Apalagi marah dengan dan atas nama Tuhan. Padahal, sesungguhnya akar soalnya ada pada diri sendiri.”

Yogyakarta, 8 Desember 2010

Bibliography:

Buchori, Ade. (2006). Traktat Pluralisme Agama Nurcholish Madjid dalam Abdul Halim (ed), Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan Yang Membebaskan: Refleksi Atas Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta: Kompas.

Cassanova, Jose. (2001). Agama di Ruang Publik: Kehidupan Dunia di Alam Modern. Malang: Resist Book.

Hidayat, Komaruddin. (2010). 250 Wisdoms: Membuka Mata, Menangkap Makna. Jakarta: Penerbit Hikmah.

Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.

Madjid, Nurcholish. (1998). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Mernissi, Fatima. (1994). Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan. Yogyakarta: LKIS.

Sahide, Ahmad. (2010). Kebebasan dan Moralitas. Yogyakarta: The Phinisi Press.

Qodir, Zuly. (2009). Kontekstualisasi Religiusitas dan Kotestasi Publik: Agama di Dunia Modern. Dalam Irwan Abdullah, Wening Udasmoro, dan Hasse J (eds), Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: TICI Publications bekerja sama Pustaka Pelajar.

Agama Hanya Tinggal Nama

Munculnya pelbagai permasalahan yang menyayat hati umat manusia, seakan-akan secara tidak langsung menggugat fungsi dan peran agama dalam menyikapi realitas sosial yang sangat kompleks saat ini. Seperti terjadinya ketegangan antar agama di Bekasi baru-baru ini, undang-undang nikah siri yang masih menjadi polemic, korupsi berjamaah di segala sector termasuk kasus markus alias makelar kasus, dan lain-lain.

Ketika membuka lembaran-lembaran sejarah agama dunia, sesungguhnya sebuah agama lahir dari rahimnya sebagai motivator pembebasan, transformasi sosial dan pencipta peradaban yang nyata. Contohnya sebagaimana Figur Muhammmad hadir dengan misi profetiknya yang menekankan pada pembebasan sosial yang dibawa oleh agamanya di tengah kejamnya budaya Arab Jahiliyah yang cenderung mensubordinasikan  dan menindas kaum perempuan, ditambah semakin kencangnya arus konflik antar kabilah (clan) sehingga menciptakan instabilitas dalam lingkungan sosial. Muhammad dengan segenap kemampuannya berhasil mentransformasi doktrin/ ajaran-ajaran agama untuk didialogkan dengan realitas sosial yang pada akhirnya menciptakan sebuah pembebasan sosial yang nyata.  Muhammad pada akhirnya telah berhasil mewujudkan sebagaimana yang dikatakan Emile Durkheim bahwa agama merupakan perekat sosial (social glue), Muhammad telah mengubah paradigma orang-orang Arab dimana persaudaraan diletakkan atas dasar agama, bukan atas dasar kabilah.

Akan tetapi saat ini yang terjadi justru sebaliknya, agama digugat fungsi dan perannya, agama hanya menjadi pasif dan ajarannya hanya bersifat religious atau kata lain cenderung hanya berlaku di Mesjid, Gereja, Pura, dan tempat ibadah lainnya, begitupun agama hanya digunakan ketika berdiskusi dengan pemuka-pemuka agama tetapi fungsi pembebasan, transformasi sosial, fungsi motivator peradaban menjadi turun mesin, mengapa??? Ini disebabkan, karena beberapa dari pemeluk-pemeluknya hanya sibuk mementingkan dirinya sendiri dan banyak yang jatuh dalam jurang kepentingan sesaat, contohnya Indonesia dimana mayoritas orang beragama, tetapi beberapa dari mereka, kelakuannya cenderung tidak beragama. Mereka tetap melakukan korupsi berjamaah, seakan-seakan meraka bearsumsi bahwa ajaran agama hanya cukup di tempat ibadah, sehingga yang muncul hanaya sebuah kesalehan yang pincang yang hanya menekankan aspek kesalehan religious dan mengabaikan aspek kesalehan sosial.

Di sisi lain, undang-undang nikah siri yang masih menjadi polemic, dimana telah terbukti merugikan kaum perempuan dan pihak anak. Tetapi beberapa tokoh-tokoh agama berdalih bahwa pernikahan dalam Islam telah sah selama ijab Qabul dihadiri oleh Wali dan dua orang saksi. Yang sungguh tidak disadari oleh mereka bahwa kita hidup dalam konteks Indonesia dimana segala hal harus taat dan patuh pada undang-undang yang berlaku dan fungsi negara seyogyanya melindungi hak warga negaranya. Inilah yang mengkhawatirkan, dimana nikah siri  banyak merugikan kaum perempuan, jadi hendaknya ketika duduk mendiskusikan masalah ini, tidak hanya menggunakan pendapat sepihak dari tokoh-tokoh agama, tetapi pihak perempuan hendaknya diberi peran dalam memberi masukan dalam hal ini mengingat beberapa dari mereka telah menjadi korban pernikahan siri sehingga bisa menjadi evaluasi kedepannya agar  bisa mengurangi korban-korbannya.

Melihat realitas tersebut, saya Khawatir dengan apa yang dikatakan Karl Marx bahwa agama hanya opium yang bisa membuat seseorang kecanduan sehingga melupakan realitas sosial yang terjadi di sekitarnya, pernyataan ini didasari oleh pengalaman Marx ketika menyaksikan bagaimana doktrin agama tidak bisa membebaskan manusia dari seabrek kungkungan masalah, agama cenderung hanya menjadi pasif bahkan kadang-kadang mengafirmasi kepentingan-kepentingan sesaat para pemimpinya. Inilah yang benar-benar terjadi saat ini , agama kehilangan misi profetiknya, agama hanya menjadi tameng dari kemunafikan kita. Kita melakukan sesuatu hal yang kadang-kadang bertentangan dengan akal sehat kita tetapi dengan dalih agama kita melakukannya. Seperti dengan seenaknya kita menghina orang yang berbeda sekte  atau berbeda agama dengan kita  bahkan kita membakar rumah ibadah mereka dan menganggap bahwa apa yang telah kita  lakukan diafirmasi oleh agama yang kita anut dan merupakan sebuah kebajikan yanga agung meskipun secara akal sehat itu sangat bertentangan. Demikianlah, realitas nyata yang terjadi disekitar kita.

Karena itu perlunya kita membaca doktrin-doktrin keagamaan sesuai realitas sosial dan mengkajinya dari segala aspek sehingga bisa mengembalikan fungsi dan peran agama pada misi profetiknya dalam melakukan pembebasan, transformasi sosial, dan motivator peradaban yang nyata. Bila agama tidak bisa melakukan itu, maka bersiaplah untuk ditinggalkan para penganut-penganutnya.

Wallahu Alam Bissawab.

Makassar, 12 Maret 2010

Kita Kaya Tapi Miskin

Judul di atas nampaknya sangat mewakili gambaran tentang republik kita yang semakin hari semakin penuh dengan masalah yang tak kunjung habisnya, khususnya dalam hal pengelolaan asset bangsa. Tulisan ini adalah refleksi kegelisahan yang selalu membuatku gusar akhir-akhir ini. Ini diinspirasi ketika saya bertemu dengan seorang wanita di sebuah seminar International tentang Asia-Afrika di Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM).

Wanita ini berdomisili di Jakarta dan merupakan seorang alumni dari salah satu Universitas terkemuka di Belanda. Wanita tersebut bekerja di sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan nikel berbasis di Jakarta, dimana hasil yang diperoleh dari perusahaan tersebut berasal dari sebuah tambang nikel di Halmahera, Maluku. Wanita tersebut kebetulan hadir pada waktu itu sebagai tamu undangan -mengingat perusahaan dimana dia bekerja- menjadi salah satu sponsor dalam seminar tersebut.

Singkat kata, pada waktu itu dia meminta pendapat kepada saya tentang bagaimana strategi pemberdayaan suku asli di sana agar taraf hidup mereka mampu ditingkatkan dan juga bagaimana cara agar mampu melestarikan budaya lokalnya. Dengan berbekal ilmu yang sedikit saya ketahui, saya lalu berusaha memberikan beberapa input dan pendekatan kebudayaan dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut, mengingat saya memiliki sedikit pengetahuan dan pengalaman tentang budaya, bidang studi yang selama ini saya geluti.

Akan tetapi, setelah wanita itu pergi, saya lalu tersadar dan menyesali apa yang telah saya lakukan. Mengapa saya dengan jinaknya memberikan beberapa input dan pendekatan yang menurut saya justru tambah memberi andil akan eksistensi perusahaan asing tersebut. Saya teringat, bahwa berapa banyak perusahaan tambang di Negara ini yang telah dijarah oleh asing dan secara sistematis telah membuat kita tidak berdaya. Meskipun pihak asing tersebut sering berkelit dengan dalih bahwa mereka telah mengeruk tambang kita sebagai salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian rakyat kita, khususnya di daerah dimana perusahaan tambang tersebut berada dan juga tentunya turut berpartispasi dalam melestarikan dan memberdayakan aset lokal.

Terkadang saya secara pragmatis setuju bahwa disatu sisi liberalisasi asset kita dirasa perlu, mengingat masyarakat kita yang masih kurang mampu mencintai dan memelihara asset yang dimiliki. Contoh kecilnya terkadang kita masih tetap keras kepala untuk merokok di ruang publik yang notabene dengan jelas terpampang tulisan “dilarang merokok,” bahkan lebih ironis lagi, ketika kita seenaknya membuang puntung rokok. Kalau hal kecil saja tak bisa dikelola dengan baik, bagaimana dengan aset besar seperti kekayaan alam kita?

Akan tetapi disatu sisi, sampai kapan kita mau menyuburkan liberalisasi seperti ini? mengapa asset-aset kita mesti dikelola oleh asing, bukankah kita punya banyak anak bangsa yang cerdas yang belum tentu kalah oleh orang asing? Tak dipungkiri, berapa banyak aset kita yang telah dijarah oleh asing yang justru sebenarnya malah memperkaya diri dan negara mereka. Lantas yang kita dapatkan hanya secuil bahkan negara kita semakin hari semakin susah. Pada akhirnya, hal ini akan menciptakan konflik yang tak berkesudahan dan berujung pada disintegrasi bangsa.

Menurut saya, keinginan untuk memisahkan diri dari Bumi Pertiwi yang pernah dilakukan oleh masyarakat Aceh dan yang sedang dilakukan oleh masyarakat Papua adalah sebuah bentuk simbol kekecewaan sekaligus protes mereka terhadap pemerintah yang dianggap lemah dalam menyikapi hal ini. Kekayaan mereka dijarah dan di sisi lain tidak mendatangkan profit yang mampu dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat, khususnya di kedua propinsi ini. Pemerintah kita hanya sibuk berkutat mengedepankan pencitraan dan pencitraan. Tetapi sungguh terlalu naïf, kalau kita hanya sering menyalahkan pemerintah tanpa berkaca dan bertanya pada diri sendiri bahwa sumbangsih apa yang telah kita berikan pada bangsa dan negara ini.

Saya tahu hal ini sangat dilematis tentunya. Banyak saudara-saudari kita yang bekerja di perusahaan tambang yang dikelola oleh asing tersebut, tentunya mereka sadar akan kekayaan kita yang telah dicuri secara halus bahkan secara terang-terangan oleh mereka, tetapi dengan gaji yang lumayan menggiurkan mereka akhirnya mengabaikan dan terkesan apatis dan tak ambil pusing. Hal ini sungguh dapat dimengerti, mengingat mereka juga punya keluarga yang perlu mereka hidupi dan nafkahi.

Saya kadang bermimpi terlalu tinggi, seandainya saja pemerintah kita  mampu seberani dan setegas Bung Karno untuk menasionalisasi aset-aset tambang kita, saya yakin negara ini akan menjadi negara yang adil dan makmur, mengingat negara ini adalah negara yang kaya dalam segala hal.

Teringat akan perjalanan saya dari sebuah kota kecil bernama Macksville menuju Sydney, Australia dengan bus, saya melihat ke kiri-kanan badan jalan dan saya menyimpulkan bahwa Australia hanya sebuah negara yang hanya dikelilingi oleh semak-semak (bush) yang sebenarnya tidak memiliki nilai jual, sedangkan Indonesia adalah sebuah Negara yang sangat kaya berlimpah sumber daya alamnya.

Coba perhatikan, ketika kita naik bus menuju kampung (desa), dengan mudah kita temukan tanaman dan tumbuh-tumbuhan seperti padi, mangga, kelapa, jagung, dll di kiri-kanan jalan yang notabene memiliki nilai jual yang tinggi. Begitupun juga dengan kekayaan alam kita dalam bentuk tambang -tidak usah ditanya lagi- terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai macam kekayaan meliputi gas, minyak bumi, emas, perak , nikel dll. Pertanyaannya mengapa Australia bisa lebih maju dari Indonesia?

Salah satu jawabannya adalah karena kurangnya kesadaran dari pemimpin kita untuk membuat kebijakan yang adil dan mampu dirasakan oleh rakyat secara menyeluruh, khususnya dalam hal pemerataan pendidikan, pemberantasan kemiskinan dan korupsi. Di sisi lain juga disebabkan karena kurangnya kesadaran kita untuk melakukan yang terbaik sesuai kapasitas dan kemampuan kita.

Demikianlah, realitas di negeri ini, bukannya ingin munafik dan sok idealis, tetapi saya hanya ingin agar kita semua mengetuk pintu hati kecil kita untuk peduli kepada bangsa dan negara ini, mari melakukan sesuatu dari apa yang kita mampu lakukan dan kita miliki untuk membantu saudara-saudari kita, mengingat masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bagi kita yang barangkali diberi rezeki yang sedikit berlebih, mari kita alokasikan sedikita harta kita untuk mendanai saudara-saudari kita yang ingin bersekolah, tetapi tidak mampu secara financial.

Buat pemerintah, tolonglah peduli sama rakyatmu, tegakkan hukum setegak-tegaknya, penuhi kebutuhan mereka, khususnya sandang, pangan, dan papan. Jangan lupa, berilah mereka pendidikan yang layak sehingga kelak bisa mengelola kekayaan bangsa dan negara ini dengan baik untuk kemaslahatan kita bersama, bukannya kemasalahatan bangsa lain. Pemerintah juga dituntut untuk bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola kekayaan bangsa ini. Jangan sampai kemarahan rakyat yang disebabkan oleh kekecewaan yang mereka hadapi secara bertubi-tubi dapat menjadi bencana bagi kita semua, bukankah doa orang teraniaya akan dikabulkan Tuhan?

Kaliurang, Yogyakarta, 1 November 2010



 

 

Kemana Arah Agama dan Negara

Hidup itu indah dalam keberagaman, begitu kata sebuah pepatah. Di negeri yang sangat kaya ini tersimpan berbagai macam potensi, apabila potensi itu dapat dikelola dengan baik, maka baik pula negara ini. Indonesia adalah sebuah negara yang kaya, negara yang memiliki kekayaan yang nyata meliputi suku, agama, budaya, dan lain-lain.

Sebagai contoh beberapa agama yang eksis di negeri ini meliputi Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu yang merupakan asset besar bangsa. Tetapi melihat realitas lebih dekat, keragaman ini belum sepenuhnya menciptakan sebuah potensi luar biasa dalam rangka menciptakan sebuah negara yang kuat dan demokratis dimana menjunjung tinggi persaudaraan dan kesetaraan dalam perbedaan. Sebagai contoh, bagaimana wajah Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini, terkadang masih menunjukkan wajahnya yang beringas dan kejam.

Kita masih ingat beberapa bulan silam di tahun 2010, beberapa ormas Islam melakukan penganiayaan kepada pendeta Gereja Batak Protestan di Bekasi (12/09/2010) ditambah pengrusakan Mesjid milik kaum Ahmadiyah di desa Cicasalada,  Kabupaten Bogor (01/10/2010). Lantas muncul pertanyaan, Mengapa kekerasan menggunakan label agama masih kerap terjadi di negara kita???Bukankah agama mengajarkan perdamaian???

Tak dipungkiri, dalam tataran personal, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengklaim keyakinan agamanya adalah yang paling benar, tetapi dalam tataran pergaulan sosial, kebenaran itu harus ditekan menuju kebenaran yang relatif sehingga tidak menyinggung perasaan saudara yang berbeda dengan kita.  Akan tetapi sangat disayangkan, beberapa perilaku kekerasan yang mengemuka saat ini yang dianggap sebagai perjuangan dalam membela agama, justru malah menyimpang dari nilai agama itu sendiri. Hal ini juga dipertegas dengan absennya pihak keamanan –dalam hal ini kepolisian- yang cenderung enggan untuk mengkriminalkan para pelaku kekerasan tersebut.

Entah mungkin ada kekhawatiran dari pihak kepolisian yang takut dipolitisasi atau ada ketakutan bahwa memerangi pelaku kejahatan yang menggunakan symbol agama adalah musuh agama itu sendiri. Secara psikologis, mudah dijelaskan mengingat kebanyakan polisi di Indonesia beragama Islam, sehingga mereka khawatir dicap anti Islam.

Dalam hal ini dibutuhkan  peran pemimpin –khususnya presiden yang menduduki tampuk tertinggi dalam struktur kenegaraan-  agar tegas dan berani untuk melindungi warganya, yaitu menindak para pelaku kekerasan tersebut tanpa takut di cap anti Islam. Mengingat Indonesia masih kuat budaya peternalistiknya sehingga ketegasan dan keberanian presiden dalam mengambil tindakan dapat menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat di level grass-root agar mampu menjadi lokomotif perubahan (agent of change).

Mereposisi  Peran Mayoritas

Ada kecenderungan, beberapa ormas-ormas keagamaan yang mengatasnamakan Islam dengan cara yang relatif beringas dan kejam adalah orang-orang yang sesungguhnya malah merusak citra Islam itu sendiri. Mereka mengatas namakan berjuang di jalan Tuhan untuk membela Tuhan. Meminjam apa yang dikatakan oleh Alm. Gusdur -bahwa Tuhan tidak perlu dibela- karena menurut hemat saya Tuhan, entah mau dibela atau tidak, sama sekali tidak mengurangi kemahakuasaannya.

Islam di Indonesia dikenal sangat santun dan toleran, sehingga beberapa cendekiawan kelas wahid dunia sekelas Prof. Mahmood Mohammad Ayoub, Robert Hefner, Fazlur Rahman, dll sangat memuji model Islam yang berhasil dibangun di Indonesia. Meskipun beberapa gerakan-gerakan Islam yang cenderung radikal mengemuka akhir-akhir ini, yang sering dijadikan sorotan di media massa karena serangkaian tindakannya yang menyebabkan keresahan dalam masyarakat dan juga perilaku mereka yang banyak ‘menyimpang’ dari substansi ajaran agama itu sendiri. Akan tetapi, menjadi tugas utama kita bersama untuk memperjuangkan kembali model Islam Indonesia yang santun dan toleran yang telah dibajak oleh mereka yang mengatas namakan Islam dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai Islam itu sendiri.

Menggunakan kaidah bahasa, bahwa terkadang ormas-ormas ini mengklaim dirinya sebagai representasi dari mainstream Islam dengan mengutip beberapa teks-teks agama, tetapi sebenarnya di balik itu, mereka justru ingin memproduksi dunia wacana sesuai dengan kepentingan dan ideologi yang mereka anut.

Penulis yakin dan percaya bahwa banyak dari kita, tentu akan menolak representasi dari Islam yang cenderung digambarkan kejam dan beringas tersebut, mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai dan toleran. Penampakan wajah Islam yang kejam dan beringas oleh ormas-ormas tersebut harus dipahami sebagai politisasi agama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Secara historis sangat kuat terekam oleh sejarah tentang bagaimana nenek moyang kita terdahulu sangat mencintai kedamaian dan toleransi, seperti kerajaan Majapahit yang tak pernah sedikit pun memerangi Islam sebagaimana yang digambarkan oleh R. Soekmono bahwa:

“Suatu ketika pada tahun 1511, Raja Pase bernama Zain-Al Abidin melarikan diri  meninggalkan takhtanya, tempat berlindungnya adalah Majapahit, dimana rajanya  masih   termasuk saudaranya. Selain itu,menurut cerita bahwa terdapat juga seorang  putri yang beragama Islam yang dinamakan putri Cempa dan putri Cina. Putri ini adalah isteri atau bahkan permaisurinya salah seorang raja Majapahit” (R. Soekmono, 1981).

Islam sebagai mayoritas diajak untuk mawas diri untuk  bagaimana melindungi minoritas. Karena ada anggapan bahwa mayoritas identik dengan “dominasi dan hegemoni” (Zaenuddin, 2003), sehingga mayoritas selalu dianggap paling benar. Hal ini harus ditinjau kembali mengingat mayoritas tidak sepenuhnya memuat kebenaran yang nyata. Sebagai contoh, apabila terjadi sebuah perundingan oleh lima orang pemuda akan hal -mencuri ayam pak lurah- Mereka lalu melakukan voting. Ada empat orang yang setuju untuk mencuri, sedangkan sisanya menolak. Dengan menggunakan analogi sederhana ini, bisa disimpulkan bahwa mayoritas tidak selalu identik dengan kebenaran.

Secara historis, Figur Nabi Muhammad adalah figur yang sangat mencintai minoritas, sebagaimana dalam komunitas Madinah yang beliau pimpin, beliau tak pernah sedikit pun menindas minoritas -meskipun islam sebagai agama mayoritas pada waktu itu- Nabi bahkan melibatkan kaum-kaum Yahudi dan Kristen dalam bermusyawarah untuk mencapai kebaikan bersama. Dalam hal ini dialog sangat beliau tekankan.

Karena itu, mayoritas sejatinya harus melindungi minoritas, mengingat kita semua ini hidup dalam satu rumah, yaitu “Indonesia”. Jadi apabila ditemukan salah satu dari mereka yang “menyimpang” dari norma yang berlaku secara umum, mereka tidak lantas harus dibumi hanguskan, tetapi mereka justru harus dibimbing dan diajak berdialog.

Ada kecenderungan kita lebih mengedepankan konfrontasi ketimbang dialog itu sendiri. Dialog hendaknya didasari niat yang baik dan tulus untuk menjalin sebuah persaudaraan yang lebih akrab, jujur, dan terbuka. Ketika persaudaraan tersebut dapat terajut dengan baik, maka baik pula dampak yang akan dihasilkan. Seperti yang ditegaskan oleh Paulo Freire (2006) bahwa “dialog tidak mungkin bisa terjadi tanpa dilandasi sikap kerendahan hati”.

Karena itu, dialog harus hendaknya mengedepankan “prakondisi esensial,” meminjam istilah Montgomery Watt seperti yang disinggung dalam Azyumardi Azra (2002) bahwa prakondisi esensial bagi dialog adalah bahwa setiap peserta dialog hendaknya menempatkan diri dalam posisi sederajat dengan tetap setia kepada agamanya tanpa harus meninggalkannya, tujuannya adalah bahwa setiap pihak haruslah memperoleh pengetahun yang lebih baik tentang agama lain.

Meskipun ada beberapa pihak yang pesimis tentang arti pentingnya dialog, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa suatu pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat agama justru akan ditemukan ketika adanya sifat saling terbuka untuk saling memahami perbedaan. Karena sejatinya, agama apapun tentu mengajarkan arti pentingnya menghargai perbedaan secara positif dalam rangka memuliakan manusia.

Tugas kita saat ini adalah mengawal demokrasi di negara kita, dengan mengedepankan spirit penghargaan kepada pluralitas. Pluralitas jangan dijadikan musuh, karena pluralitas apabila dikelola dengan baik dapat menciptakan sebuah konfigurasi kekuatan yang tangguh. Ingatkah kita bagaimana perjuangan pejuang-pejuang kita terdahulu meskipun mereka berbeda, tetapi mereka tetap mengedepankan persatuan dalam merebut kemerdekaan.

Karena kita telah menikmati alam “kemerdekaan”, mari kita isi kemerdekaan ini untuk melawan musuh kita bersama yaitu kemiskinan, kebodohan, dan korupsi dengan segenap potensi  pengetahuan dan kemampuan yang kita miliki, daripada harus saling adu otot yang tak jelas manfaatnya. Bukan begitu?

Bibliography:

Azra, Azyumardi. (2002). Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat. Jakarta: Kompas.

Freire, Paulo. (2006). Pedagogy of the Oppressed: 30th Anniversary Edition. New York: Continuum.

Soekmono, R. (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Zaenuddin, Muhammad. (2003). Menggoyang Pikiran: Menuju Alam Makna. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syirik Zaman Modern

Ketika ditanyakan dosa apa yang paling besar yang tidak akan diampuni oleh Tuhan (Allah)???Semua orang pasti akan serentak mengatakan syirik atau perilaku menyekutukan Tuhan.Perilaku syirik ini apabila dibiarkan akan merusak nilai-nilai Tauhid. Dengan hilangnya paham Tauhid, maka hilanglah iman seseorang yang juga berdampak pada berkurangnya rasa aman.

Nabi Muhammad SAW adalah salah satu figur historis yang berhasil memerangi syirik pada zamannya. Nabi dalam hal ini secara substansial berarti wakil yang dikirimkan Tuhan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kedamaian, kejujuran, dan memberantas segala bentuk penindasan dan ketidakadilan sosial. Atau kata lain dapat dikatakan bahwa Nabi merupakan agen Tuhan yang ditugaskan dalam melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih baik.

Tuhan Melalui malaikat Jibril, menurunkan firman dalam bentuk kalam Allah yaitu Al-Quran. Salah satu ayat pertama dalam al Qur’an adalah iqra atau bacalah. Muhammad diperintahkan oleh Tuhan untuk membaca, dalam konteks ini bukan seperti membaca yang lazimnya kita lakukan sekarang, seperti membaca buku, majalah, koran, dsb.

Akan tetapi, lebih kepada membaca tanda-tanda zaman. Dalam hal ini, kita diajak untuk bagaimana membaca situasi zaman yang ada disekitar kita, yang dampaknya mampu merusak tatanan nilai-nilai kemanusiaan. Pada zaman Nabi, salah satu masalah yang sangat krusial  adalah subordinasi kaum perempuan, dimana waktu itu sering diidentikkan dengan zaman jahiliyah atau zaman kegelapan. Seorang ibu enggan melahirkan anak perempuan karena disinyalir membawa malapetaka, sehingga bayi perempuan yang lahir pada waktu itu, tidak segan untuk dikubur hidup-hidup. Selain itu banyak perempuan dijadikan budak-budak oleh orang-orang yang kaya dan kemudian hak-haknya dilucuti. Lebih ironis lagi ketika perempuan dijadikan komoditas yang tidak punya kekuatan dan hak pilih, sehingga katakanlah mereka ingin menikah, ayah atau walinya memiliki hak mutlak dalam mencarikan mereka pasangan hidup dan sang anak wajib menerimanya, sehingga muncul kecenderungan bahwa  perempuan adalah kaum kelas dua.

Tetapi, seiring dengan amanah sosial yang Nabi emban, beliau lalu melakukan transformasi sosial dengan mengangkat derajat/posisi kaum perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Cara yang beliau lakukan adalah salah satunya adalah memberikan kebebasan untuk memilih pasangan kepada anaknya. Hal ini merupakan sebuah terobosan yang dilakukan Nabi dimana memutus mata rantai tradisi yang telah mapan dan mendarah daging di dunia Arab pada waktu itu.

Selain itu, Nabi juga menghidupkan tradisi intelektual kepada kaum perempuan. Perempuan pada zaman Nabi, sering diajak berdiskusi di mesjid dalam mencari solusi akan masalah-masalah yang dihadapi umat pada waktu itu. Sehingga tak mengherankan, Aisyah istri Nabi pada waktu itu, muncul sebagai sosok yang sangat terkenal dan disegani karena kepiawaiannya  dan kecerdasannya dalam bidang syariat, politik, pemerintahan, dll.

Tugas berat yang tak kalah berat diemban oleh Nabi adalah bagaimana memberantas kaum Politeis di Mekkah. Seperti yang kita tahu bahwa Nabi menghadapi cobaan berat  dalam melakukan ini karena harus diperhadapkan oleh orang-orang yang satu suku dengannya ditambah karakter keras dan beringas masyarakat Quraisy pada waktu itu yang sangat membenci Islam. Mereka sangat membenci Nabi, terlebih ketika beliau memproklamasikan syahadat, bahwa Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusanNya yang secara tidak langsung akan mengganggu status quo mereka dan tuhan-tuhan palsu yang mereka sembah pastinya akan terabrogasi (tergantikan) oleh konsep Tauhid Islam yang menekankan tentang Keesaan Allah.

Menurut hemat saya, secara substansial yang ingin ditekankan oleh konsep syirik berdasarkan contoh-contoh di atas adalah adanya kepercayaan akan tuhan-tuhan palsu yang hidup dan bersemayam dalam diri manusia, yaitu ketamakan, kerakusan, dan kesombongan yang berpotensi masif merusak seluruh tatanan social.

Syirik Dalam Konteks Kemodernan dan Keindonesiaan

Tak dipungkiri, bahwa seiring perkembangan zaman, masalah yang terjadi sangatlah kompleks. Maka kita dituntut untuk peka membaca tanda-tanda zaman dan juga turut andil dalam memberikan solusi akan tantangan zaman yang semakin hari semakin ruwet.

Salah satu masalah yang sangat pelik yang telah meracuni dan merusak sendi-sendi kehidupan di bumi Nusantara adalah Korupsi, khususnya pada penyalahgunaan jabatan dan uang rakyat. Kita bisa melihat, bagaimana korupsi telah menghancurkan segala sektor kehidupan di negara kita, sebagai contoh dalam sektor pendidikan yang merupakan sektor vital kemajuan sebuah bangsa. Pendidikan kita terpaksa harus berjalan tertatih-tatih karena banyaknya anggaran yang seharusnya digunakan dalam peningkatkan mutu pendidikan telah disulap dan hilang tak jelas kemana. Hal ini juga didukung oleh lemahnya penegakan hukum yang cenderung tebang pilih. Contoh yang paling nyata adalah bagaimana seorang Gayus Tambunan dengan mudahnya meninggalkan penjara untuk berlibur ke Bali bersama keluarganya.

Selain itu, dampak dari korupsi yang telah merajalela adalah semakin meningkatnya kemiskinan sehingga dapat menimbulkan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin yang apabila dibiarkan akan menciptakan sebuah efek buruk yang mana kerusakannya akan melebihi dahsyatnya bom molotov.

Memberantas Syirik Modern

Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa syirik adalah perilaku menyekutukan Tuhan. Dalam konteks kekinian, konsep syirik harus diintepretasi ulang. Konsep syirik yang eksis saat ini adalah pengakuan akan tuhan-tuhan palsu dalam bentuk korupsi khususnya dalam hal penyalahgunaan jabatan dan uang rakyat yang mana telah hidup dan bersemayam dalam diri seseorang dimana efeknya mampu menghancurkan segala sektor kehidupan.

Lantas agama hanya dijadikan tempat berlindung dari boroknya perilaku kita yang cenderung dibungkus dengan kesalehan yang pincang. Dalam hal ini, banyak dari kita hanya mengedepankan kesalehan ritual yang hanya menekankan ibadah ritual semata dan lupa akan kesalehan sosial yang menekankan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan. Bukankah korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa yang pastinya telah memperkosa nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan itu sendiri??? Mengapa kerakusan, ketamakan, dan kesombongan ini harus dibiarkan???

Sebagai analogi, apabila anda adalah seorang pembuat kursi, lantas kursi anda dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, apa yang anda rasakan???pastinya anda akan merasa kesal dan marah pada orang yang telah merusak karya tersebut. Begitu pun dengan Tuhan, apabila seorang hambanya telah dilecehkan nilai-nilai kemanusiaannya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab khususnya para koruptor, maka Tuhan akan murka dan tak akan mengampuni para koruptor tersebut karena kelakuan mereka telah merusak dan menghancurkan segala sektor kehidupan.

Karena itu, sebagai umat beragama kita ditantang untuk menjadikan agama kita   sebagai gerbang pembebasan sosial dalam memerangi korupsi. Paling tidak, turut partisipatif dalam melakukan kontrol dan kritik sosial dalam penegakkan hukum yang berkeadilan dan mampu memberi efek jera kepada para koruptor. Selain itu, perlunya menghidupkan spirit kenabian secara substansial dalam diri setiap individu/umat beragama agar mampu menjadi pionir dalam melakukan transformasi sosial untuk kehidupan yang lebih baik. Bukankah perubahan pada awalnya berawal dari yang kecil???

Kebudayaan, Politik Identitas, dan Potensinya

Pada awalnya, manusia tidak mengenal konsep kepemilikan. Akan tetapi seiring perkembangan pemikiran manusia, mereka lalu menciptakan system kepemilikan yang diatur dalam system birokrasi yang relative sederhana sesuai hasil kesepakatan mereka pada waktu itu.

Laki-laki dan perempuan lalu melakukan ikatan pernikahan dan dari ikatan tersebut, muncullah keturunan-keturunan mereka yang berlangsung secara kontinyu dalam rangka memperbanyak jumlah manusia pada waktu itu agar mampu bekerja sama dalam melawan ganasnya alam.

Jauh setelah itu, manusia mulai membentuk identitas dalam rangka memperkuat posisi dan kekuasaan mereka dalam wujud ras, etnik, suku, dll.

Politik Identitas

Manusia pada dasarnya tidak pernah lepas dari identitasnya karena dengan itulah mereka bisa melakukan proses kohesi social. Akan tetapi, identitas itu selalu mengalami proses fluktuatif atau kata lain ada proses naik-turun di dalamnnya. Sebagai contoh ketika kita berada di Belanda, kita cenderung melakukan proses differensiasi dengan mencoba menarik garis yang tegas antara identitas kita dengan yang lain. Ada kecenderungan kita lebih memilih bergaul sesama orang yang berasal dari negara kita ketimbang seseorang yang berasal dari Belanda atau negara lain.

Begitupun ketika seseorang yang katakanlah berasal dari Makassar berada di Yogyakarta,Medan, Bandung, atau kota-kota lainnya, mereka akan melakukan proses differensiasi dan juga cenderung menganggap kota mereka lebih baik daripada kota yang lain. Begitu pula, ketika seorang suku Bugis berada di negeri asalnya yaitu di Kota Makassar, mereka cenderung melakukan differensiasi dengan suku Makassar, Mandar, dan Toraja dan kemudian menganggap sukunya adalah yang terbaik.Mengapa hal itu terjadi???

Mungkin salah satu jawabannya adalah bahwa manusia lahir dalam ranah kebudayaan yang menekankan nilai-nilai dimana mereka dilahirkan. Dalam bahasa Inggris, tempat kita dilahirkan dan dibesarkan sering disebut mother land, dikatakan mother land karena menyerupai sifat ibu (mother) yang selalu ingin memberikan segalanya kepada anaknya. Begitupun dengan mother land yang selalu memberikan segala kenyamanan kepada manusia-manusia yang besar dan hidup di tempat tersebut seperti kedamaian, kesejukan, kebebasan, kemerdekaan, dan segala fasilitas mencakup air, tanah, udara, dll. Sebagai contoh, dalam budaya Bugis-Makassar, sejak kecil kita diajarkan agar selalu berkata jujur dan apa adanya dalam mengatakan sesuatu meskipun itu pedih, dimana tercakup dalam salah satu filosofi hidup orang Bugis-Makassar dimana menjunjung tinggi tiga ujung, yaitu ujung lidah dalam menyampaikan kejujuran, ujung badik (senjata khas Bugis-Makassar) menegakkan kebenaran, dan ujung kelamin dalam menyebarkan benih dimana-dimana, sehingga tak bisa dipungkiri Orang Bugis-Makassar dengan mudah kita temukan dari Sabang-Merauke bahkan di berbagai penjuru dunia seperti di Afrika Selatan, Singapura, Malaysia, dll.

Kembali kita focus dalam hal menyampaikan kejujuran, orang Bugis-Makassar sangat menjunjung tinggi hal ini, mengingat kejujuran merupakan ajaran Islam, agama yang banyak dianut oleh suku ini. Orang Bugis-Makassar dalam menyampaikan kejujurannya dituntut untuk menurut sertakan keberanian dalam menyampaikannya.

Akan tetapi, dalam konteks suku Jawa, nilai kejujuran yang dijunjung tinggi oleh orang Bugis-Makassar yang disertai keberanian cenderung diabaikan. Mereka menganggap bahwa kesopan-santunan adalah hal yang harus diutamakan.  Kejujuran adalah masalah nomor dua karena dikhawatirkan ketika mereka mengatakan kejujuran, hal itu akan menyinggung perasaan orang lain dan tentunya dianggap tidak sopan.

Demikianlah, usaha manusia dalam segala kompleksitasnya melestarikan nilai-nilai yang mereka dapatkan dari mother land nya, yang diserap melalui media keluarga, pendidikan formal dan lingkungannya. Juga ada kecenderungan dalam diri seseorang untuk menjunjung tinggi primordialisme mereka yang tercakup dalam hal etnisitas, kesukuan, dll.

Mencari Titik Temu Budaya

Harus diakui bahwa setiap budaya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung bagaimana manusia memaknainya dalam realitas sosial. Pendidikan sebagai akar majunya sebuah bangsa, hendaknya konsen akan kearifan-kearifan lokal dalam masing-masing budaya yang dimiliki oleh Indonesia yang mana merupakan asset dan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya.

Pemerintah juga diharapkan agar mampu menghidupkan dan memperkuat pentingnya pendidikan kewarganegaraan dan muatan local dalam kurikulum pendidikan kita, sehingga mampu meningkatkan pengetahuan anak bangsa akan kekayaan budaya yang mereka miliki. Sebagai contoh, perlunya diadakan pertukaran tenaga pengajar yang memiliki kemampuan yang mumpuni dalam hal kebudayaan. Seperti tenaga pengajar dari Makassar ditukar ke Yogyakarta dan sebaliknya dalam beberapa waktu tertentu. Tenaga pengajar dari Makassar barangkali bisa mengajarkan kepada pelajar-pelajar di Yogyakarta akan implementasi nilai siri’ (malu) dalam rangka pemberantasan korupsi, begitupun dengan tenaga pengajar dari Yogyakarta dapat mengajarkan kepada pelajar-pelajar di Makassar tentang bagaimana menghadapi bencana alam dari sudut pandang kearifan local yang mereka miliki. Hal ini juga dapat diimplementasikan oleh propinsi lainnya di Indonesia. Dalam hal ini sharing pengalaman sangat ditekankan dalam rangka menjawab tantangan–tantangan global.

Ada baiknya mulai saat ini sebagai anak bangsa kita hendaknya memiliki kepekaan akan asset kekayaan local kita yang tersebar dalam kearifan dan filosofi hidup yang tak terhitung berapa banyak jumlahnya. Indonesia memiliki potensi menjadi kota dunia apabila kita mampu memelihara dan mengembangkan aset-aset tersebut yang sesungguhnya memiliki nilai jual yang sangat luar biasa. Bukankah banyak warga Australia, Amerika dan Eropa sering berkunjung ke Indonesia dalam rangka mempelajari budaya kita karena mereka sendiri miskin akan budaya???Karena itu, banggalah menjadi orang Indonesia. Tidak perlu merasa minder dan inferior dengan bangsa lain. Merasa minder dan inferior adalah ciri-ciri bangsa yang tidak percaya diri.

Yogyakarta, 3 November 2010

Media dan Keberagamaan

Tak dipungkiri bahwa media telah memainkan peranan penting dalam menentukan opini seseorang terhadap suatu kasus. Tulisan ini tidak ingin mengkaji suatu kasus dengan menggunakan teori media yang komprehensif, tetapi lebih ingin memperlihatkan bagaimana peranan media dalam membetuk pemahaman agama yang rasional dan visioner.

Seiring semakin berkembangnya iklim demokrasi di Indonesia, kebebasan pers adalah sebuah keniscayaan, bahkan menjadi sebuah kebutuhan. Akan tetapi, kebebasan dalam hal ini tidak menafikan dan mengabrogasi aturan-aturan yang legal atau kata lain kebebasan tetap berlandaskan koridor-koridor hukum yang positif. Kebeasan yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang dalam pelaksanaanya tidak mengindahkan batas/limit makan akan tergelincir dalam “dizzy of freedom” meminjam istilah Sartre. Secara artikulatif bisa dijelaskan bahwa apalah arti sebuah kehidupan tanpa adanya fondasi dasar sebagai acuan  dalam melakukan sesuatu, contohnya kita sulit berbicara tentang kebaikan tanpa adanya batasan untuk membandingkannya dengan keburukan, tanpa adanya nilai yang menjadi fondasi dasar tersebut, maka pada akhirnya menuntun kita meuju ketidakpastian.

Tulisan ini juga ingin mengkritik program TV yang banyak menayangkan hal-hal yang berbau mistis, seperti fenomena hari  kiamat dengan menekankan pada tanda-tanda kiamat itu sendiri, sepertinya hancurnya alam semesta ini perlahan-lahan yang diikuti oleh fenomena mencairnya gunung es, munculnya Dajjal yang diasosiasikan dengan Sai Baba di India yang dapat mengubah pasir menjadi nasi/jagung, dan juga lahirnya bayi bermata satu yang sungguh sangat mengerikan.

Tak dipungkiri bahwa suatu saat kiamat akan terjadi dan yang paling tahu pasti kapan terjadinya adalah Allah Yang Rahman dan Rahim, saya dalam hal ini tidak bermaksud ingin menafikan tentang kiamat itu sendiri, tetapi dengan adanya program mistik di TV yang dihubungkan dengan kiamat tadi,tentunya akan menakut-nakuti secara psikologis khususnya  anak-anak yang masih lugu dan  naif, sehingga dikhawatirkan dapat membuat mereka paranoid karena sebagaimana yang dikatakan ahli psikologi bahwa anak belajar dari apa yang dilihat dari sekitarnya (children learn what they see and live).

Dalam perspektif media itu sendiri, pemberitaaan semacam ini barangkali bukanlah sebuah masalah karena dengan dalih kebebasan pers, tetapi sungguh sangat diharapkan kepada media ketika menyiarkan sebuah berita hendaknya sejalan dengan fungsi dasarnya,yaitu, fungsi informatif, fungsi edukatif, sarana hiburan, dan fungsi kontrol dan kritik (check and balance) daripada hanya sekedar menakut-nakuti terlebih ditengah carut-marutnya bangsa dan negara ini yang didera kemiskinan, kebodohan, dan korupsi. pemberitaan semacam ini hanya dapat membuat anak bangsa kita menjadi tidak produktif, kenapa??? karena seseorang akan terjebak untuk lebih fokus kepada akhirat (kehidupan akan datang) daripada memikirkan kepentingan dunia, selain itu manusia akan lebih fokus kepada kesalehan ritual  dan mengabaikan kesalehan sosial untuk peduli pada sekitarnya, padahal ajaran agama sejatinya mengajarkan umatnya utuk menyeimbangkan keduanya agar kelak bisa menjadi pribadi yang berlimpah dan tercerahkan, tetapi apabila manusia gagal melakukan itu, maka itu akan mengkerdilkan peran agama yang sejatinya menuntun para pengikutnya agar senantiasa menjadi kreatif dan rasional dalam menjawab tantangan zaman.

Karena itu, media harus mentransformasi bentuknya dari menakut-nakuti menjadi inspirator terhadap seseorang akan sumber ajaran agama yang dianutnya, sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh bapak bangsa kita Alm.Gusdur yang mentransformasi masyarakat Indonesia untuk menghargai hak-hak minoritas khususnya pengakuan atas eksistensi warga Tionghoa,yang diinspirasi dari pesan dasar Islam yang menekankan nilai-nilai persamaan dan keadilan. Yang menjadi tantangan kita saat ini adalah bagaimana nilai-nilai agama yang kita anut dapat menginspirasi kita untuk memberantas kemiskinan, kebodohan , dan korupsi.

Romantisisme Islam dan Kristen

Berbicara tentang Islam dan Kristen, sungguh tidak pernah ada habisnya. Kedua agama ini merupakan agama yang memiliki penganut terbesar di dunia. Pengikut Islam kebanyakan kita bisa temukan di Indonesia, Negara Afrika dan Timur Tengah, begitu pula dengan Kristen, yang kebanyakan kita bisa temukan di Negara Barat dan Amerika Latin

Akan tetapi terlepas dari itu, sesungguhnya, kedua agama ini berasal dari keturunan Ibrahim (Abraham), dimana Ismail yang merupakan cikal bakal lahirnya ajaran Islam begitu pula dengan Ishak yang merupakan cikal bakal lahirnya ajaran Kristen.

Kedua agama ini sering terlibat konflik yang sangat hebat, contohnya konflik antara Serbia dan Bosnia, Konflik antara Islam dan Kristen di Poso dan Ambon, dll. Hal ini sangatlah mencengangkan kita semua, dimana sejatinya hakikat agama adalah melarang kemungkaran, peperangan , dan mengarahkan pengikutnya untuk menjunjung tinggi nilai Kemanusiaan ,tetapi yang terjadi malah sebaliknya.Mengapa???

Mungkin hakikat dari agama itu telah hilang dari diri kita. Kita hanya disibukkan bagaimana kita saling berlomba-lomba mencari “nasabah” untuk bergabung di agama kita, karena masing2 dari kita, menganggap agama kita yang paling benar sehingga tidak segan-segan menghujat agama lain, bukankah hal ini telah keluar dari koridor agama itu sendiri yang menjunjung tinggi sikap tenggang rasa, dan Bukankah agama bersifat pribadi, dimana setiap individu akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dia lakukan, baik di pengadilan dunia maupun pengadilan akhirat.

Ada beberapa torehan sejarah yang menggambarkan hubungan yang mesra antara Islam dan Kristen. Ketika Rasulullah Muhammad SAW menjadi pemimpin di kota Madinah Al-Munawarah, Nabi pernah mengundang beberapa pengikut Kristen dari Najran untuk melakukan musyawarah di Masjidnya. Nabi sangat terbuka, toleran, dan akrab dengan mereka. Bahkan ketika mereka hendak melakukan ibadah kebaktian, orang2 Kristen dari Najran ini, sempat meminta izin kepada nabi untuk keluar sejenak melakukan kebaktian di depan mesjid  tetapi Nabi seraya mengatakan “tidak usahlah, cukuplah anda kebaktian disini”.

Ada riwayat lain yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad mengutus beberapa pengikutnya dengan menulis sebuah surat resmi kepada Raja Negus di Abyssinia (Ethiopia) yang kebetulan beragama Kristen. Nabi  pada waktu itu meminta pertolongan dari raja Negus agar Dia diberi pertolongan akan ancaman yang datang bertubi-tubi dari Mekkah.

Ketika Jerusalam di bawah naungan pasukan Muslim dimana Umar bin Khattab menjadi khlifah pada waktu itu, beliau melakukan kunjungan di Holy Sepulchre (Gereja Betlehem), dan ketika waktu salat telah tiba, Umar meminta izin untuk melakukan salat dan si pendeta member izin untuk salat di tempat itu. Akan tetapi Umar menolak karena dia khawatir suatu saat nanti, umatnya akan mengingat momen ini dan mereka akan mengubah tempat ini menjadi mesjid. Inilah bukti bahwa Umar sangat respek terhadap eksistensi umat Kristen.

Begitupula ketika Dinasti Abbasiyah yang berbasis di Irak pada waktu itu, mereka mempekerjakan banyak penganut Kristen Koptik untuk bekerja di sektor pemerintahan,khususnya di bidang treasury (Bendahara).

Itulah sekelumit torehan sejarah yang mengambarkan hubungan mesra antara Islam dan Kristen, semoga ini bisa member dampak positif bagi kita untuk menghargai perbedaan (mutual respect each other). Perbedaan hendaknya kita jadikan festival untuk saling belajar dan saling melengkapi satu sama lain, bukannya saling melecehkan dan saling mendiskreditkan. Bukankah perdamaian lebih indah daripada konflik melulu???

Yang harus kita renungkan saat ini terlepas dari sekelumit perbedaan yang dimiliki antara Islam dan Kristen khususnya dalam konsep Teologi adalah hendaknya kita sadar bahwa antara pengikut Islam dan Kristen adalah sama-sama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan hendaknya kedua agama ini harus menjadi rahmat dan berkah bagi kemaslahatan umat manusia.

Wallahu Alam Bissawab.

Indahnya Kata Maaf

Mengapa kita sulit untuk minta maaf??? itulah pertanyaan yang sering muncul dalam benak kita padahal sebagai umat beragama, kita diajak merenungi hakikat kata “maaf” tersebut. Bahkan dalam ajaran Islam dengan jelas dikatakan bahwa seseorang yang meminta maaf terlebih dahulu akan diberi pahala satu tingkat lebih tinggi, tetapi kenapa kita tetap enggan melakukannya??

Ada sebuah wisdom yang mengatakan “minta maaflah karena itu sehat dan menyehatkan”, saya sangat sependapat dengan wisdom tersebut. Coba bayangkan ketika kita meminta maaf, betapa banyaknya energi-energi negatif yang kita buang yang pada akhirnya akan meringankan beban kita, sehingga kita bisa lebih optimis dan positif dalam menjalani dan memaknai hidup. Begitu pun dengan seseorang yang ditempati minta maaf hendaknya dengan ikhlas menerima kata maaf tersebut. Sesungguhnya menanam amarah dan emosi dalam diri kita tidak ada gunanya. Ada sentilan yang cukup familiar ditelinga kita ” jangan suka marah, nanti cepat tua loh”. Sentilan tersebut kedengaran biasa-biasa saja tetapi maknanya sangat dalam yang pada hakikatnya mengajak kita untuk senantiasa tidak mengedepankan emosi yang ujung-ujungnya akan mencelakakan diri kita juga.

Lantas muncul lagi pertanyaan sebelumnya, mengapa seseorang enggan untuk meminta maaf???Jawabannya adalah bahwa seseorang merasa gengsi dan kehormatannya merasa terinjak-injak ketika harus meminta maaf. Mereka bahkan dengan ikhlasnya mau menanggung beban tersebut dengan dalih “demi reputasi”. Saya khawatir, apabila hal ini terus dipelihara, suatu saat akan tumbuh subur dan nanti durinya akan menusuk dan melukai banyak orang.

Saya punya pengalaman menyaksikan seorang pasangan suami-istri yang bertengkar dengan hebatnya, hanya karena mementingkan ego masing-masing. Sang suami bahkan mengancam ingin membakar rumah dan seluruh aset-aset yang telah mereka peroleh selama ini hanya karena dikendalikan oleh emosi sesaat. Apa jadinya apabila hal tersebut benar-benar terjadi???tak bisa dibayangkan penyesalan yang berkepanjangan akan terjadi nantinya, khususnya sang suami akan merasa sangat sedih dan penuh penyesalan ketika melihat orang lain yang sedang asyik menikmati hasil jerih payah mereka dengan mengendarai mobil berkeliling kota bersama keluarga atau paling tidak ketika melihat orang lain menikmati waktu senggangnya di beranda rumah ditemani secangkir kopi dan surat kabar, sedangkan suami tersebut hanya sibuk berkubangan dalam lumpur penyesalan dan penderitaan. Akan tetapi, untunglah sang suami cepat menyadari dirinya dan dengan segala kerendahan hatinya akhirnya dia meminta maaf kepada sang istri dan sang istri pun dengan ikhlas dan lapang dada memaafkan suaminya, sehingga bisa menyuburkan kembali mahkota rumah tangga mereka yang sempat layu menjadi tumbuh kembali.

Pengalaman saya yang lain, pernah suatu ketika, saya mengendarai sepeda motor dan tak sengaja menabrak motor orang lain dari arah belakang. Saya malah menjadi bingung harus berbuat apa lagi. Dengan memberanikan diri saya lalu mengucapkan kata “maaf saya yang salah”  dan saya juga telah siap dan ikhlas menanggung segala resiko dari apa yang telah saya lakukan. Yang menakjubkan, sang pemilik motor tersebut hanya terdiam dan tak mampu berkata apa-apa dan kemudian dia bergegas pergi. Semenjak saat itu, saya banyak mendapatkan pelajaran dari the power of “maaf.”

Secara filosofis dapat dijelaskan mengapa seseorang yang mendengarkan kata “maaf” yang lahir dari hati yang ikhlas akan mudah diterima? karena pada hakikatnya, manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci), sehingga ketika mendengarkan kata “maaf” yang secara substansial merupakan untaian kata yang suci, maka manusia akan ikhlas menerimanya, karena sejatinya manusia mencintai kesucian.

Lantas muncul lagi pertanyaan untuk kita, apakah emosi dan amarah yang kita tanam selama ini mendatangkan keuntungan bagi kita atau malah menambah beban kita???cukuplah hanya kita yang tahu jawabannya.

Kita hendaknya senatiasa belajar dari figur Nabi Muhammad, beliau dengan segala kebersahajaanya dan kerendahan hatinya dapat mengendalikan segala emosi dan amarah yang datang menyelimutinya. Beliau bahkan dengan rendah hati dan ikhlas memaafkan orang-orang yang mau mencelakainya. Apa jadinya sendainya Nabi Muhammad merupakan sosok yang beringas, kejam, dan mengedepankan emosi, pastinya beliau tidak akan menyejarah dan tidak akan memiliki kesan yang positif bagi manusia hingga saat ini, sehingga tidak mengherankan seorang tokoh perdamaian dunia dari India, Mahatma Gandhi pernah mengatakan “Saya lebih yakin bahwa bukanlah pedang yang memberikan kebesaran Islam pada masanya, tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersamaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad, serta pengabdian luar biasa kepada para sahabat dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya. Semua ini (dan bukan pedang) menyingkirkan segala halangan.”

Menjelang datangnya hari yang fitri ini, marilah kita melepas segala pakaian kepalsuan dan keangkuhan yang melekat dalam diri kita dan marilah kita mencucinya dengan deterjen hati yang dapat membersihkan noda-noda tersebut sehingga kelak kita mampu menjadi manusia yang fitrah (suci).Amin…

Apa perbedaan antara si dermawan dan si kaya???

Suatu hari dalam perjalanan pulang dari Bank, saya melewati sebuah jalan alternatif untuk menghindari kemacetan. Jalan alternatif tersebut ukurannya cukup lebar, sehingga mobil seukuran truk bahkan kontainer pun dapat melewatinya. Kita pastinya tahu bahwa mobil truk dan kontainer terkadang memuat barang/muatan yang melebihi kapasitas (over load), sehingga menyebabkan beberapa bagian jalan menjadi retak bahkan berlubang, sehingga ketika hujan datang, jalan tersebut sering digenangi oleh air.

Melihat keadaan tersebut, ada seorang lelaki paruh baya yang memiliki inisiatif untuk mengambil timbunan yang terdiri dari material tanah dan batu-batuan hasil dari bongkaran rumah. Lelaki tersebut menimbun jalan tersebut agar pengendara kendaraan bermotor yang melintas dapat merasa nyaman dan aman.

Lelaki tersebut kelihatannya adalah seseorang yang hidup pas-pasan, sehingga terkadang setelah menimbun jalan berlubang tersebut, dia berdiri di tengah jalan sambil memegang sebuah kaleng bekas dan meminta sepeser uang receh atau uang kertas dari para pengendara yang melintas, barangkali ada yang ikhlas mau menyumbangkan sedikit hartanya untuk menjadi sesuap nasi.

Dari beberapa pengendara yang melintas, hanya segelintir orang yang menyumbangkan sepeser uang mereka untuk lelaki tersebut. Singkat cerita, ada sebuah mobil box yang melintas dan sopirnya singgah sejenak untuk memberikan sepeser uang dengan ikhlas kepada lelaki tersebut, sedangkan ada mobil yang cukup mewah yang melintas dimana pengendaranya bergaya cukup trendy dan berkelas, tetapi tidak memberikan apapun.

Akhirnya, terjawablah sudah pertanyaan yang membuat saya penasaran selama ini tentang “apa perbedaan antara si dermawan dan si kaya”?Ternyata, orang yang dermawan belum tentu kaya, dan orang yang kaya belum tentu dermawan.

Cerita di atas adalah salah satu contoh nyata. Meskipun sopir mobil box tersebut hidup dalam keterbatasan, tetapi itu tidak mengurungkan niatnya untuk memberi dan membantu sesama, sedangkan orang yang hidup lumayan “berkecukupan” kadang-kadang enggan untuk memberi.

Sesungguhnya, memberi tidaklah harus peduli pada jumlah dan nominalnya, tetapi lebih kepada “keikhlasan”. Saya yakin, Tuhan Yang Maha Pengasih akan senang kepada hambanya yang selalu ikhlas dalam memberi dan membantu sesama, meskipun itu dalam jumlah yang kecil, daripada mereka yang selalu menyumbang/memberi dalam jumlah yang besar tetapi cenderung riya (mengharapkan pujian).

Dalam konteks bernegara, ada banyak saudara-saudara kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hendaknya kita mengasah kepekaan sosial kita dan menghidupkan kembali budaya memberi dan membantu sesama (to give and to help), karena kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi???