Mencegah Gayus-Gayus Baru Bergentayangan

Kelakuan Gayus yang telah menggegerkan republik ini dengan bertindak sebagai mafia perpajakan  adalah sebuah wacana publik yang tak kunjung habisnya untuk dibicarakan, baik itu oleh kaum tua terlebih bagi kaum muda. Suatu ketika di sebuah lapangan futsal, sebuah lagu yang bertema kritik sosial “Andai ku Gayus” milik Bona Paputungan sedang diperdengarkan sebagai musik background, sontak anak-anak yang bermain futsal terdiam dan berhenti sejenak lalu mengatakan Gayus kongkong dan pakanre doe (anjing dan rakus akan uang).

Meskipun kata-kata mereka terdengar kasar dan binal, tetapi tidak perlu menyalahkan mereka. Memang hal itu dilakukan dengan sadar, tetapi kesadaran yang mereka lakukan sebenarnya distimulasi oleh alam bawah sadar mereka yang telah muak melihat penyimpangan di negara ini seperti mafia perpajakan, korupsi, dll ditambah lemahnya hukum kita yang mudah dibeli dengan uang.

Walaupun kebanyakan dari mereka masih berusia belasan tahun, tetapi hak suara mereka harus didengar dan diperhatikan. Kita tidak perlu menganggapnya sebagai angin lalu saja, atas dalih mereka masih ingusan, tetapi bisa jadi mereka lebih dewasa. Bukankah kedewasaan dalam berpikir, berkata, dan bertindak tidak dibatasi oleh usia?

Penulis hanya khawatir, hari ini mereka membenci menjadi gayus tetapi suatu saat akan menjadi generasi penerus Gayus yang akan bergentanyangan di Indonesia, maklum yang namanya “uang”, tidak mengenal siapapun baik itu ulama, artis, pejabat, sopir angkut, dll. Mereka pasti akan tergoda dalam bujuk rayunya, layaknya seekor kucing yang diberi makanan, pasti tak akan menolak. Karena itu, seluruh elemen bangsa seyogyanya perlu memikirkan apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah bibit-bibit Gayus. Lantas, langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya?

Pendidikan dalam Keluarga

Untuk menanamkan karakter yang memiliki kejujuran dan berintegritas tinggi, seyogyanya dimulai dari keluarga. Pendidikan dalam keluarga adalah salah satu alat yang paling ampuh untuk menanamkan akar moral yang kuat dan kokoh kepada anak, layaknya sebuah pohon, apabila akarnya kokoh maka semakin sulit pohon itu tumbang meskipun diterjang angin yang kencang sekalipun. Dalam hal ini, hendaknya orang tua saling bahu membahu mendidik anak mereka untuk menjadi manusia paripurna yang memiliki sifat jujur, adil dan bertanggung jawab. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menanamkan itu:

Pertama, orang tua hendaknya mengajarkan anak tentang bagaimana cara mendapatkan uang dengan hasil jerih payah dan kerja keras, sehingga kelak sang anak mampu menghargai usaha yang positif dalam mendapatkan uang. Terkhusus, untuk keluarga yang cukup berlebihan secara financial, kecenderungannya adalah anak mereka terlalu dimanjakan secara berlebihan dengan memberikan berbagai macam fasilitas tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya, seperti pemberian uang jajan yang terlalu berlebihan ditunjang dengan gaya hidup yang terlalu glamour. Didikan seperti ini pada akhirnya akan membentuk mental anak menjadi manja dan kurang menghargai hasil kerja keras dan jerih payah  dalam memperoleh sesuatu.

Kelak, ketika mereka bekerja dan mendapatakan gaji yang katakanlah pas-pasan, mereka akan mudah putus asa, bermasa bodoh  dalam melakukan sesuatu dan akhirnya terjatuh dalam lubang korupsi. Ini diakibatkan oleh sikap manja dan juga mental mereka yang telah terbiasa dengan hidup glamour. “Dengan kata lain, tingginya “aspirasi material” merupakan salah satu faktor dari tingginya keinginan untuk melakuka korupsi” (Irwan Abdullah, 2010: 81).

Kedua, Sejak dini si anak ditanamkan agar tidak malu dalam segala hal, kecuali mencuri hak milik orang lain.. Lebih jauh, perlunya ditanamkan kepada anak bahwa apabila mereka melakukan tindakan tidak terpuji dengan mengambil hak milik orang lain, maka orang tua akan menanggung malu dengan hilangnya reputasi orang tua di mata orang lain, karena aib anak merupakan aib orang tua. Tentunya apabila hal ini tertanam kuat dalam benak sang anak, maka mereka akan konsisten melakukan perbuatan yang terpuji. Karena anak mana yang mau melihat orang tuanya malu karena tindakannya yang telah menyimpang? Untuk melakukan itu, momen yang tepat menyampaikannya adalah ketika waktu setelah Salat dan waktu makan malam dengan melakukan dialog ringan disertai contoh-contoh yang ada di dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, Sejak dini sang anak hendaknya diberi kepercayaan oleh orang tua, tetapi masih tetap dalam pantauan dan pengawasan orang tua, sehingga sang anak mampu belajar menjaga kepercayaan yang diembannya. Contoh, orang tua hendaknya memberikan kepercayaan kepada anaknya untuk membayar uang buku dan sekolah sehingga mereka mampu belajar mandiri dan menjaga kepercayaan.Akan tetapi, perlu diingat orang tua harus kooperatif dengan guru di sekolah tentang detail pembayaran tersebut tanpa sepengetahuan sang anak sehingga orang tua mampu melakukan evaluasi dari apa yang telah dilakukan sang anak. Bila perlu, katakan kepada anak bahwa kepercayaan hanya datang sekali. Sekali melanggarnya, maka hilanglah kepercayaan itu. Mau tidak mau, sang anak akan belajar menjaga kepercayaan yang mereka emban,

Pendidikan Agama di Sekolah

Pendidikan agama kadang-kadang dijadikan satu-satunya polisi moral yang dianggap mampu membendung kelakuan-kelakuan yang menyimpang seperti korupsi, tetapi kenyataan di lapangan, pendidikan agama kita masih belum sukses mengurangi tingkat korupsi di negeri ini. Terlebih kebanyakan koruptor adalah alumni atau produk dari perguruan tinggi. Jadi ada apa dengan pendidikan agama kita?

Dalam filsafat ilmu dikatakan bahwa pendidikan tidak hanya melulu tentang nilai atau angka, tetapi yang lebih substansial adalah bagaimana menanamkan moral kepada peserta didik, sehingga bisa dijadikan tuntunan dalam menjelajahi kehidupan yang penuh dinamika dan teka-teki. Jadi perlu dilakukan kajian ulang terhadap kurikulum pendidikan agama kita sebagaimana yang dikatakan Budi Hardiman bahwa:

“Kurikulum agama kita lebih banyak berbicara tentang ritual sehingga yang terjadi, agama kerap sibuk dengan ritualisme dan narsisisme kelompok dan juga yang nampak di  permukaan adalah agama hanya sibuk mengurusi  hal yang bersifat kesusilaan dan cenderung bisu dalam isu-isu korupsi dan HAM” (Budi Hardiman, Kompas 09/12/2010).

John Dewey dalam Ahmad mengatakan bahwa seharusnya pengalaman dijadikan basis utama dalam pendidikan (Islamlib.com 03/06/2010). Jadi ada baiknya, hal ini harus dipertimbangkan sebagai aspek penunjang untuk dikombinasikan dengan pendidikan agama kita khususnya di. Artinya, kurikulum pendidikan agama kita yang pada dasarnya lebih banyak mengajarkan tentang ritual harus ditunjang dengan pengalaman agar akan realitas sosial sehingga mampu bersinergi menciptakan kepekaan sosial dalam rangka mengurangi tingkat korupsi. Beberapa rekomendasi adalah sebagai berikut:

Pertama, Ada baiknya para guru/dosen agama mengajak murid mereka untuk mengikuti kelas agama di dalam rutan penjara, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tersangka korupsi. Dari sana, mereka bisa melihat langsung bagaimana kehidupan di dalam penjara dan bila perlu sang siswa di ajak berdialog oleh para pelaku sehingga mereka dapat mendapatkan suntikan moral agar tidak terjatuh di lubang yang sama (korupsi).

Kedua, sang guru/dosen harus mengajak murid-murid mereka untuk berkunjung ke tempat dimana terdapat kantong-kantong kemiskinan. Disana sang dosen hendaknya menyampaikan fakta apa adanya bahwa kemiskinan yang eksis di tempat tersebut bukanlah “takdir”, tetapi lebih kepada kemiskinan yang bersifat struktural, akibat bobroknya mental pemimpin kita mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah ditunjang oleh sistem yang semestinya menempatkan pendidikan sebagai sektor yang paling vital dalam pembangunan bangsa.

Akan tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan malah sebaliknya, dimana sejatinya pendidikan yang layak adalah hak asasi anak bangsa dimana dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dikatakan bahwa kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa . Akan tetapi, akibat korupsi segalanya menjadi runyam, mereka yang miskin tidak mendapatkan hak mereka sehingga menjadi semakin bodoh dan berujung pada semakin tingginya tingkat kemiskinan. Dengan melakukan ini, penulis optimis bahwa kedepannya para mahasiswa akan memiliki kepekaan sosial yang lebih tinggi.

Ketiga, Perlu dipikirkan hadirnya dunia sastra dalam pelajaran agama. Bukankah banyak tokoh agama khususnya dalam Islam yang menggunakan medium sastra dalam mengajarkan nilai-nilai agama kepada para pengikutnya. Contoh, Jalaluddin Rumi adalah salah satu filsuf terkenal yang sering menggunakan medium tersebut. Di Indonesia, sosok Taufik Ismail dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah sosok-sosok terkenal yang banyak memadukan agama dan sastra dalam mengajarkan agama kepada para pengikutnya. Karena sastra adalah medium yang dianggap tepat untuk mengisi kekosongan dan kehampaan hati insan manusia dengan sentuhan kata-kata yang menyayat hati. Bukankah ada banyak jenis karya sastra seperti dalam beberapa puisi yang isinya mengandung untaian kata-kata yang mampu memberikan spirit pencerahan dalam diri manusia.

Selain itu, film juga merupakan medium yang baik karena dengan film, para siswa diajak seolah-olah terlibat dalam pengalaman yang diceriterakan di film tersbut. Contoh, film “alangkah lucunya negeri ini” karya bessutan Deddy Mizwar adalah sebuah contoh film yang dianggap mampu menanamkan karakter yang kuat dan penuh integritas kepada orang yang menontonnya. Agama bukan hanya bersifat ritual tetapi juga bersifat sosial, khususnya tentang bagaimana kejujuran ditanamakan dalam kehidupan sehari-hari dan dari film kita bisa belajar akan itu.

Jadi, Jangan sampai kita hanya sibuk mengkritik Gayus, tetapi benih-benih Gayus ternyata hidup dalam diri kita. Mengkritik Gayus memang mudah tetapi menjadi konsisten untuk tidak menjadi pengikut Gayus sangatlah sulit, bukan? Karena itu, mari kita saling mengingatkan dalam kebaikan.

Makassar, 22 Januari 2011

Bibliography:

Abdullah, Irwan. (2010). Berpihak Pada Manusia: Paradigma Nasional Pembangunan Indonesia Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://islamlib.com/id/artikel/scripture-minded-dalam-pendidikan-agama-kita/

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/09/05334748/..ham.kita