Gerakan Keagamaan dalam Dinamika Kampus (1)

Pasca jatuhnya orde baru terjadi perubahan sosial yang signifikan di Indonesia. Pada zaman rezim Orde Baru, segala sesuatu yang berseberangan dengan tafsir pemerintah dianggap menyimpang sehingga wajib dibumihanguskan karena  akan menghambat ideologi pembangunan (developmentalisme) yang diagung-agungkan oleh rezim ini. Perubahan sosial yang paling tampak terjadi pasca Orde Baru adalah adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal ini lalu disambut dengan positif oleh berbagai pihak yang dulunya merasa ditindas oleh rezim Orde Baru.

Sebagai respons dari munculnya kran kebebasan di negeri ini, muncullah berbagai macam gerakan sosial dengan menganut ideologi tertentu. Kalangan aktifis keagamaan (baca: Islam) adalah salah satu pihak yang paling diuntungkan dengan adanya kran kebebasan ini. Dulunya mereka hanya melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi alias dakwah bawah tanah dalam bentuk pengajian dan kelompok studi di masjid atau mushalla kampus untuk menyebarkan ideologi mereka. Ini disebabkan karena kebijakan Soeharto di bawah peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) 1978 pada waktu itu, melarang mereka melakukan ekspresi politik di luar ideologi Pancasila tafsiran Orde Baru. (Hwang, 2011). Setelah era reformasi, gerakan-gerakan Islam lalu bermunculan di permukaan tanpa harus dihantui rasa ketakutan.

Peledakan gedung kembar WTC di New York, meletusnya bom Bali 1 dan 2, dan pengeboman Hotel Marriot dan Kedutaan Australia yang sering dikaitkan dengan jaringan Islam garis keras, Jamaah Islamiah (JI) ternyata memberi ekses terhadap gerakan Islam ‘konservatif’ yang eksis di kampus, seperti Hizbut Tahrir, KAMMI, Majelis Mujahidin Indonesia, dll yang banyak diinspirasi oleh ideologi Islam Timur Tengah (baca: impor). Mereka sering dikaitkan sebagai komunitas epistemik meminjam istilah Holzner (istilah ini sering diterjemahkan sebagai komunitas yang memiliki visi dan tujuan yang sama, meskipun berbeda secara pendekatan) dari jaringan Islam garis keras yang ingin menanamkan kebencian terhadap Barat dan juga mengubah ideologi negara. Ideologi mereka cenderung dianggap sebagai ideologi yang mempromosikan pandangan keagamaan yang sempit dan destruktif.

Gerakan-gerakan Islam ini banyak diinspirasi oleh pemikiran dari tokoh-tokoh seperti An Nabani, Sayyid Qutb, Al Maududi, dll. Kekayaan pemikiran dari tokoh-tokoh di atas dengan mudah didapatkan dalam bentuk buku dan merupakan bacaan wajib di dalam komunitas mereka karena dianggap sebagai suatu cara dalam mengintrodusir dan mereproduksi ideologi tokoh-tokoh tersebut. Bagi beberapa pengamat agama dan politik, tokoh-tokoh di atas sering dianggap sebagai tokoh yang berpandangan ‘fundamentalis’, sempit dan tekstual yang dalam batasan tertentu, buah pemikirannya banyak menekankan pada jihad fisik (kekerasan) khususnya dalam melawan rezim Barat yang dianggap sekuler.

Bila ingin merujuk pada tesis Charles Tilly (2003) dalam bukunya The Politics of Collective Action, di buku tersebut Tilly mencoba mengajukan sebuah rekomendasi bahwa untuk memutus mata rantai kekerasan, maka kita wajib untuk mengeliminasi dan menutup akses dari ide/pemikiran yang bersifat destruktif. Tapi, apakah langkah ini bisa diterapkan di dunia kampus?

Menurut hemat penulis, hal ini merupakan sesuatu yang dilematis karena di satu sisi, untuk memutus mata rantai kekerasan diperlukan usaha yang serius untuk mencabut akar kekerasan dari bawah, yaitu melalui pemikiran yang memiliki potensi yang bersifat destruktif, seperti halnya ideologi dari gerakan-gerakan Islam tersebut yang dalam sisi tertentu melegalkan jihad fisik. Akan tetapi, di sisi lain kampus merupakan mimbar terbuka yang harus mampu menampung berbagai macam ideologi termasuk ideologi Islam yang dianut oleh gerakan Islam tersebut karena keberadaan berbagai macam ideologi tanpa disadari mampu memberi kekayaan warna dalam dinamika kehidupan kampus.

Tindakan eliminasi terhadap gerakan-gerakan Islam di kampus dengan dalih bahwa ideologi mereka banyak mempromosikan  ide-ide yang destruktif seperti jihad fisik yang mampu memicu kekerasan seperti terorisme menurut hemat penulis adalah sebuah langkah yang tidak fair karena bertentangan dengan esensi konstitusi kita yang memberikan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul.

Bila ingin ditilik lebih jauh, kekerasan itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang multi tafsir, karena ideologi-ideologi lain seperti Sosialisme dan Kapitalisme juga mempromosikan ide-ide kekerasan meskipun dalam bentuk yang berbeda, seperti ideologi kapitalisme yang menekankan pada kepemilikan modal yang dalam sisi tertentu mampu membuat si miskin menjadi tambah miskin, yang kuat menindas yang lemah seperti dalam kasus Amerika yang merupakan negara super power. Dengan dalih ingin menerapkan demokrasi di negara-negara yang dikuasai oleh rezim yang otoriter, Amerika lalu melakukan invasi ke negara-negara tersebut dengan mengirimkan tentaranya lengkap dengan peralatan tempur guna membombardir rezim yang berkuasa.

Setelah negara tersebut dikuasai, Amerika lalu lupa menepati janjinya untuk melakukan demokratisasi. Yang dilakukan adalah mengambil alih dan menguasai aset-aset strategis di negara tersebut seperti kilang minyak untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang merupakan prinsip dasar kapitalisme, sembari mendirikan pemerintahan boneka di dalamnya agar mampu memuluskan jalan mereka. Invasi Amerika terhadap Irak dan Afghanistan merupakan potret nyata dari kejamnya ideologi kapitalisme. Bukankah ini juga merupakan sebuah kekerasan?

Oleh karena itu, untuk memberikan wacana tandingan terhadap gerakan-gerakan Islam di kampus agar tidak ikut terlena dalam ideologi Islam yang cenderung destruktif , maka perlu dilakukan berbagai macam langkah strategis berikut ini:

Pertama, perlu diciptakan ruang dialog yang jujur dan terbuka di dalam kampus. Meskipun dalam batas tertentu, dialog tidak sepenuhnya berjalan efektif seperti yang kita harapkan tetapi pendekatan ini adalah sebuah langkah yang realistis dalam menjembatani perbedaan. Adanya dialog yang berkesinambungan diharapkan mampu memberikan perubahan paradigma khususnya bagaimana mendialogkan antara teks dan konteks.

Kedua, kurikulum pendidikan  di kampus wajib mengajarkan ilmu-ilmu sosial (khususnya ilmu sosiologi) di seluruh fakultas tanpa terkecuali karena bila ingin ditelusuri, kebanyakan aktifis yang aktif di gerakan-gerakan Islam adalah mahasiswa yang berlatar belakang Fakultas Ilmu Alam, seperti Teknik, Kedokteran, MIPA, dll yang kurang memiliki pengetahuan yang komprehensif dalam ilmu-ilmu sosial sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk menafsirkan idelogi agama (baca:Islam) secara hitam putih dan apa adanya. Hal ini juga didukung oleh tesis Zuly Qodir (2007: 100) yang menyatakan bahwa cikal bakal kelahiran gerakan-gerakan Islam ‘konservatif’ muncul pertama kali di Universitas yang berbasis ilmu alam, seperti di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Mengapa ilmu sosial ini menjadi penting? Karena ini akan membantu mereka dalam menggunakan peta kognitifnya agar lebih tajam melihat, mengamati, memahami realitas sosial. Dengan  ilmu-ilmu sosial yang mapan dan memadai, diharapkan bisa membantu mereka dalam menjawab masalah kekinian yang dihadapi, khususya dalam menafsirkan kembali ideologi keagamaan impor yang mereka anut yang sebenarnya memiliki konteks historis dan sosio-kultural yang berbeda dengan negara kita. Saya telah menyadari ada beberapa kalangan akan menolak pandangan ini dengan mengatakan bahwa Islam hanya ada satu. Akan tetapi, dalam ekspresinya, Islam di setiap tempat hadir dengan varian-varian yang berbeda yang cenderung beradaptasi dengan konteks lokal dimana dia berada.

Ketiga, organisasi Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah melalui jaringan organisasi sayap kemahasiswaan yang mereka miliki harus berkontribusi aktif dalam menyebarkan pemikiran Islam yang moderat. Kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa kedua organisasi tadi cenderung banyak menghabiskan energinya untuk mengurusi hal-hal yang berbau politik kekuasaan dan melupakan dakwah yang sifatnya kultural dan intelektual.

Yogyakarta, 28 Oktober 2011

Bibliography:

Hwang, Julia Chernov. 2011. Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum Islamis di Indonesia, Malaysia, dan Turki. Jakarta: Freedom Institute.

Qodir, Zuly, 2009. Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tilly, Charles. 2003. The Politics of Collective Violence. Cambridge: Cambridge University Press.

Leave a comment