Psikologi Kebersihan

Satu hal yang menarik dari pemandangan di sekitar rumah saya di dusun Ngaglik, Sleman, Yogyakarta adalah tingginya kesadaran yang dimiliki oleh para warga dalam menjaga kebersihan. Ini dapat saya lihat, dari isi dan pekarangan rumah mereka yang sangat bersih, didukung oleh beranda rumah yang sungguh mengkilap lantainya. Hal ini secara langsung  mempengaruhi cara hidup saya di kota ini.

Ketika bangun pagi, saya terkadang dibuat takjub akan tradisi kebersihan yang sangat dujiunjung tinggi oleh para warga.Tidak pandang bulu, baik laki-laki maupun perempuan saling bekerja sama untuk menjaga kebersihan dalam rangka menciptakan suasana yang nyaman, sejuk, dan tenteram untuk keluarga dan masyarakat di sekitar mereka. Dalam hal ini, mereka menerapkan apa yang dikatakan kesetaraan gender dalam pembagian kerja, karena terkadang ada sebuah tradisi yang telah terpatri dalam masyarakat kita bahwa, menjaga kebersihan (baca: membersihkan rumah) hanya tugas seorang perempuan.

“Bersih pangkal sehat, rajin pangkal pandai”, itulah semboyan yang biasa diajarkan ketika kita masih duduk di bangku SD. Ada kalanya saya berpikir, bahwa semboyan tersebut hanya sebagai pemanis bibir belaka, bagaimana tidak? realitanya, banyak dari kita masih mengabaikan hal tersebut. Khusus dalam hal kebersihan, masyarakat Yogya sejak kecil telah ditanamkan agar senantiasa menjaga kebersihan. Salah satunya adalah orang tua memberi contoh kepada anak-anak mereka akan bagaimana menghadirkan suasana yang bersih dan sejuk dalam lingkungan rumah mereka, agar mampu terinternalisasi dalam alam bawah sadar sang anak, sehingga dapat diaplikasikan kelak, karena tak dipungkiri secara psikologis children learn what they see and live.

Meskipun, terkadang ada nada sumbang yang mengatakan bahwa orang Yogya adalah orang yang masih kuat menjaga tradisi nenek moyang mereka yang bercorak Hindu- Budha dalam keberislaman mereka yang sering disebut Sinkretisme. Akan tetapi, disi lain menurut hemat saya, bahwa umat Islam di Yogya telah berhasil mengaplikasikan nilai–nilai Islam dimana “kebersihan adalah sebagian dari iman” adalah budaya hidup mereka sehari-hari. Terkadang hal ini luput dalam benak sebagian saudara kita khususnya yang beragama Islam, mereka sadar bahwa Islam mencakup segala hal, akan tetapi pada pelaksanaanya lebih banyak melakukan ajaran Islam hanya dalam segi normatifnya saja yaitu Salat, puasa, mengaji, dll tanpa menyentuh inti persoalan yang sebenarnya (baca: kesalehan sosial).

Kebersihan dan Kebangsaan

Menjamurnya banyak masalah kemanusiaan akhir-akhir ini di Indonesia seperti banjir, korupsi, terorisme, dsb sebenarnya dipicu akibat kurangnya kesadaran kita dalam merenungi hakikat kehidupan. Bagaimana tidak, apabila kebersihan sendiri yang notabene masih merupakan hal yang kecil, tak mampu kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari, maka bisa dipastikan hal-hal yang besar akan kita abaikan pula, bukankah sesuatu yang besar berawal dari hal yang kecil?

Dalam sebuah kunjungan ke Sydney, saya takjub akan kebersihan yang dikelola dengan baik baik dalam level individu maupun dalam level pemerintahan. Bagaimana system pengelolaan sampah disana dikelola dengan baik, dimana setiap warga diwajibkan untuk menyimpan tiga box tempat sampah yang berbeda meliputi sampah organik, recycle, food scrap (sisa makanan) di rumah masing-masing. Tak lupa ibu dan ayah mengajar dan membimbing anak mereka agar membuang sampah di tempat yang benar dan tepat. Setiap senin malam tiap minggunya, saya sering ditugaskan oleh ibu angkat saya untuk meletakkan tiga box sampah tersebut di depan rumah, keesokan paginya box sampah tersebut isinya telah kosong dan bersih karena sampahnya diambil oleh pihak pemerintah yang khusus menugaskan orangnya untuk mengurusi bidang kebersihan.

Sepanjang jalan, hampir sulit ditemukan debu karena setiap tengah malam, mobil pembersih sampah menyedot debu-debu di jalan. Sepanjang jalan kurang lebih setiap 250 meter dengan mudah kita temukan tempat sampah, sehingga mempengaruhi psikologi seseorang untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, karena apa guna tempat sampah tersebut bila tidak digunakan sebagaimana mestinya. Meskipun kebanyakan penduduk di Sydney tidak beragama secara formal tetapi mereka menerapkan nilai-nilai Islam. Sehingga menurut hemat saya, Islam ternyata hidup di kota ini karena ayat-ayat Tuhan dengan mudah kita temukan dimana-mana, yaitu seruan akan pentingnya menjaga kebersihan. Mengapa negara kita yang notabene berlandaskan agama justru lupa menerapkan nilai-nilai Islam tersebut, lantas dimana keberagamaan kita?

Menurut hemat penulis, selain faktor pendidikan keluarga yang memainkan peran sentral dalam hal ini. Perlu juga ditekankan kepada pemerintah agar lebih konsen mengurusi kebersihan, bila perlu didukung dengan aturan yang nyata dan sanksi yang tegas bagi mereka yang membuang sampah tidak pada tempatnya, yang mencemari lingkungan, dan yang merusak keseimbangan alam. Aturan jangan hanya menjadi pemanis di bibir belaka dalam rangka pencitraan. Pemerintah lupa bahwa bila mereka menerapkan system yang nyata dan tegas, maka kelak mereka akan selalu dikenang di hati rakyat karena penerapan aturan yang implementatif ini akan dirasakan manfaatnya secara nyata.

Begitu juga halnya dengan dunia pendidikan formal, khususnya pelajaran agama diharapkan mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam mengajarkan para siswa tentang bagaimana menjawab persoalan kehidupan yang pelik dewasa ini, seperti halnya menjaga kebersihan lingkungan dan keseimbangan alam. Ada baiknya para guru agama di sekolah tidak hanya mengajarkan tentang ritual-ritual agama semata dan lupa akan persoalan yang lebih esensial yang dihadapi oleh umat.

Baiknya pula, sang guru agama suatu ketika mengajak murid-muridnya berkunjung ke sebuah daerah yang katakanlah terkena bencana banjir bandang. Disana sang guru diharapkan mampu memberi pelajaran berharga kepada para siswanya agar tidak serakah pada alam seperti membuang sampah di bantaran kali dan menebang hutan secara membabi buta sebagai tindakan preventif untuk meredam bencana. Selain itu, manfaat dari kunjungan tersebut juga diharapkan mampu mengajarkan murid akan arti kepedulian sosial untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana. Bukankah sesuatu yang pernah kita lihat dan alami secara langsung tentunya mampu memberikan efek transformasi positif bagi diri kita untuk berbuat yang terbaik ke depannya, bukan begitu?

Jadi, semakin tinggi tingkat peradaban suatu bangsa, semakin tinggi pula semangat mereka dalam menjaga kebersihan, maukah kita menjadi bangsa yang beradab? Kalau begitu, sekarang waktunya untuk memulai, jangan ada kata terlambat.

Yogyakarta, 15 Desember 2010

Kita Kaya Tapi Miskin

Judul di atas nampaknya sangat mewakili gambaran tentang republik kita yang semakin hari semakin penuh dengan masalah yang tak kunjung habisnya, khususnya dalam hal pengelolaan asset bangsa. Tulisan ini adalah refleksi kegelisahan yang selalu membuatku gusar akhir-akhir ini. Ini diinspirasi ketika saya bertemu dengan seorang wanita di sebuah seminar International tentang Asia-Afrika di Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM).

Wanita ini berdomisili di Jakarta dan merupakan seorang alumni dari salah satu Universitas terkemuka di Belanda. Wanita tersebut bekerja di sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan nikel berbasis di Jakarta, dimana hasil yang diperoleh dari perusahaan tersebut berasal dari sebuah tambang nikel di Halmahera, Maluku. Wanita tersebut kebetulan hadir pada waktu itu sebagai tamu undangan -mengingat perusahaan dimana dia bekerja- menjadi salah satu sponsor dalam seminar tersebut.

Singkat kata, pada waktu itu dia meminta pendapat kepada saya tentang bagaimana strategi pemberdayaan suku asli di sana agar taraf hidup mereka mampu ditingkatkan dan juga bagaimana cara agar mampu melestarikan budaya lokalnya. Dengan berbekal ilmu yang sedikit saya ketahui, saya lalu berusaha memberikan beberapa input dan pendekatan kebudayaan dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut, mengingat saya memiliki sedikit pengetahuan dan pengalaman tentang budaya, bidang studi yang selama ini saya geluti.

Akan tetapi, setelah wanita itu pergi, saya lalu tersadar dan menyesali apa yang telah saya lakukan. Mengapa saya dengan jinaknya memberikan beberapa input dan pendekatan yang menurut saya justru tambah memberi andil akan eksistensi perusahaan asing tersebut. Saya teringat, bahwa berapa banyak perusahaan tambang di Negara ini yang telah dijarah oleh asing dan secara sistematis telah membuat kita tidak berdaya. Meskipun pihak asing tersebut sering berkelit dengan dalih bahwa mereka telah mengeruk tambang kita sebagai salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian rakyat kita, khususnya di daerah dimana perusahaan tambang tersebut berada dan juga tentunya turut berpartispasi dalam melestarikan dan memberdayakan aset lokal.

Terkadang saya secara pragmatis setuju bahwa disatu sisi liberalisasi asset kita dirasa perlu, mengingat masyarakat kita yang masih kurang mampu mencintai dan memelihara asset yang dimiliki. Contoh kecilnya terkadang kita masih tetap keras kepala untuk merokok di ruang publik yang notabene dengan jelas terpampang tulisan “dilarang merokok,” bahkan lebih ironis lagi, ketika kita seenaknya membuang puntung rokok. Kalau hal kecil saja tak bisa dikelola dengan baik, bagaimana dengan aset besar seperti kekayaan alam kita?

Akan tetapi disatu sisi, sampai kapan kita mau menyuburkan liberalisasi seperti ini? mengapa asset-aset kita mesti dikelola oleh asing, bukankah kita punya banyak anak bangsa yang cerdas yang belum tentu kalah oleh orang asing? Tak dipungkiri, berapa banyak aset kita yang telah dijarah oleh asing yang justru sebenarnya malah memperkaya diri dan negara mereka. Lantas yang kita dapatkan hanya secuil bahkan negara kita semakin hari semakin susah. Pada akhirnya, hal ini akan menciptakan konflik yang tak berkesudahan dan berujung pada disintegrasi bangsa.

Menurut saya, keinginan untuk memisahkan diri dari Bumi Pertiwi yang pernah dilakukan oleh masyarakat Aceh dan yang sedang dilakukan oleh masyarakat Papua adalah sebuah bentuk simbol kekecewaan sekaligus protes mereka terhadap pemerintah yang dianggap lemah dalam menyikapi hal ini. Kekayaan mereka dijarah dan di sisi lain tidak mendatangkan profit yang mampu dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat, khususnya di kedua propinsi ini. Pemerintah kita hanya sibuk berkutat mengedepankan pencitraan dan pencitraan. Tetapi sungguh terlalu naïf, kalau kita hanya sering menyalahkan pemerintah tanpa berkaca dan bertanya pada diri sendiri bahwa sumbangsih apa yang telah kita berikan pada bangsa dan negara ini.

Saya tahu hal ini sangat dilematis tentunya. Banyak saudara-saudari kita yang bekerja di perusahaan tambang yang dikelola oleh asing tersebut, tentunya mereka sadar akan kekayaan kita yang telah dicuri secara halus bahkan secara terang-terangan oleh mereka, tetapi dengan gaji yang lumayan menggiurkan mereka akhirnya mengabaikan dan terkesan apatis dan tak ambil pusing. Hal ini sungguh dapat dimengerti, mengingat mereka juga punya keluarga yang perlu mereka hidupi dan nafkahi.

Saya kadang bermimpi terlalu tinggi, seandainya saja pemerintah kita  mampu seberani dan setegas Bung Karno untuk menasionalisasi aset-aset tambang kita, saya yakin negara ini akan menjadi negara yang adil dan makmur, mengingat negara ini adalah negara yang kaya dalam segala hal.

Teringat akan perjalanan saya dari sebuah kota kecil bernama Macksville menuju Sydney, Australia dengan bus, saya melihat ke kiri-kanan badan jalan dan saya menyimpulkan bahwa Australia hanya sebuah negara yang hanya dikelilingi oleh semak-semak (bush) yang sebenarnya tidak memiliki nilai jual, sedangkan Indonesia adalah sebuah Negara yang sangat kaya berlimpah sumber daya alamnya.

Coba perhatikan, ketika kita naik bus menuju kampung (desa), dengan mudah kita temukan tanaman dan tumbuh-tumbuhan seperti padi, mangga, kelapa, jagung, dll di kiri-kanan jalan yang notabene memiliki nilai jual yang tinggi. Begitupun juga dengan kekayaan alam kita dalam bentuk tambang -tidak usah ditanya lagi- terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai macam kekayaan meliputi gas, minyak bumi, emas, perak , nikel dll. Pertanyaannya mengapa Australia bisa lebih maju dari Indonesia?

Salah satu jawabannya adalah karena kurangnya kesadaran dari pemimpin kita untuk membuat kebijakan yang adil dan mampu dirasakan oleh rakyat secara menyeluruh, khususnya dalam hal pemerataan pendidikan, pemberantasan kemiskinan dan korupsi. Di sisi lain juga disebabkan karena kurangnya kesadaran kita untuk melakukan yang terbaik sesuai kapasitas dan kemampuan kita.

Demikianlah, realitas di negeri ini, bukannya ingin munafik dan sok idealis, tetapi saya hanya ingin agar kita semua mengetuk pintu hati kecil kita untuk peduli kepada bangsa dan negara ini, mari melakukan sesuatu dari apa yang kita mampu lakukan dan kita miliki untuk membantu saudara-saudari kita, mengingat masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bagi kita yang barangkali diberi rezeki yang sedikit berlebih, mari kita alokasikan sedikita harta kita untuk mendanai saudara-saudari kita yang ingin bersekolah, tetapi tidak mampu secara financial.

Buat pemerintah, tolonglah peduli sama rakyatmu, tegakkan hukum setegak-tegaknya, penuhi kebutuhan mereka, khususnya sandang, pangan, dan papan. Jangan lupa, berilah mereka pendidikan yang layak sehingga kelak bisa mengelola kekayaan bangsa dan negara ini dengan baik untuk kemaslahatan kita bersama, bukannya kemasalahatan bangsa lain. Pemerintah juga dituntut untuk bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola kekayaan bangsa ini. Jangan sampai kemarahan rakyat yang disebabkan oleh kekecewaan yang mereka hadapi secara bertubi-tubi dapat menjadi bencana bagi kita semua, bukankah doa orang teraniaya akan dikabulkan Tuhan?

Kaliurang, Yogyakarta, 1 November 2010



 

 

Indahnya Kata Maaf

Mengapa kita sulit untuk minta maaf??? itulah pertanyaan yang sering muncul dalam benak kita padahal sebagai umat beragama, kita diajak merenungi hakikat kata “maaf” tersebut. Bahkan dalam ajaran Islam dengan jelas dikatakan bahwa seseorang yang meminta maaf terlebih dahulu akan diberi pahala satu tingkat lebih tinggi, tetapi kenapa kita tetap enggan melakukannya??

Ada sebuah wisdom yang mengatakan “minta maaflah karena itu sehat dan menyehatkan”, saya sangat sependapat dengan wisdom tersebut. Coba bayangkan ketika kita meminta maaf, betapa banyaknya energi-energi negatif yang kita buang yang pada akhirnya akan meringankan beban kita, sehingga kita bisa lebih optimis dan positif dalam menjalani dan memaknai hidup. Begitu pun dengan seseorang yang ditempati minta maaf hendaknya dengan ikhlas menerima kata maaf tersebut. Sesungguhnya menanam amarah dan emosi dalam diri kita tidak ada gunanya. Ada sentilan yang cukup familiar ditelinga kita ” jangan suka marah, nanti cepat tua loh”. Sentilan tersebut kedengaran biasa-biasa saja tetapi maknanya sangat dalam yang pada hakikatnya mengajak kita untuk senantiasa tidak mengedepankan emosi yang ujung-ujungnya akan mencelakakan diri kita juga.

Lantas muncul lagi pertanyaan sebelumnya, mengapa seseorang enggan untuk meminta maaf???Jawabannya adalah bahwa seseorang merasa gengsi dan kehormatannya merasa terinjak-injak ketika harus meminta maaf. Mereka bahkan dengan ikhlasnya mau menanggung beban tersebut dengan dalih “demi reputasi”. Saya khawatir, apabila hal ini terus dipelihara, suatu saat akan tumbuh subur dan nanti durinya akan menusuk dan melukai banyak orang.

Saya punya pengalaman menyaksikan seorang pasangan suami-istri yang bertengkar dengan hebatnya, hanya karena mementingkan ego masing-masing. Sang suami bahkan mengancam ingin membakar rumah dan seluruh aset-aset yang telah mereka peroleh selama ini hanya karena dikendalikan oleh emosi sesaat. Apa jadinya apabila hal tersebut benar-benar terjadi???tak bisa dibayangkan penyesalan yang berkepanjangan akan terjadi nantinya, khususnya sang suami akan merasa sangat sedih dan penuh penyesalan ketika melihat orang lain yang sedang asyik menikmati hasil jerih payah mereka dengan mengendarai mobil berkeliling kota bersama keluarga atau paling tidak ketika melihat orang lain menikmati waktu senggangnya di beranda rumah ditemani secangkir kopi dan surat kabar, sedangkan suami tersebut hanya sibuk berkubangan dalam lumpur penyesalan dan penderitaan. Akan tetapi, untunglah sang suami cepat menyadari dirinya dan dengan segala kerendahan hatinya akhirnya dia meminta maaf kepada sang istri dan sang istri pun dengan ikhlas dan lapang dada memaafkan suaminya, sehingga bisa menyuburkan kembali mahkota rumah tangga mereka yang sempat layu menjadi tumbuh kembali.

Pengalaman saya yang lain, pernah suatu ketika, saya mengendarai sepeda motor dan tak sengaja menabrak motor orang lain dari arah belakang. Saya malah menjadi bingung harus berbuat apa lagi. Dengan memberanikan diri saya lalu mengucapkan kata “maaf saya yang salah”  dan saya juga telah siap dan ikhlas menanggung segala resiko dari apa yang telah saya lakukan. Yang menakjubkan, sang pemilik motor tersebut hanya terdiam dan tak mampu berkata apa-apa dan kemudian dia bergegas pergi. Semenjak saat itu, saya banyak mendapatkan pelajaran dari the power of “maaf.”

Secara filosofis dapat dijelaskan mengapa seseorang yang mendengarkan kata “maaf” yang lahir dari hati yang ikhlas akan mudah diterima? karena pada hakikatnya, manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci), sehingga ketika mendengarkan kata “maaf” yang secara substansial merupakan untaian kata yang suci, maka manusia akan ikhlas menerimanya, karena sejatinya manusia mencintai kesucian.

Lantas muncul lagi pertanyaan untuk kita, apakah emosi dan amarah yang kita tanam selama ini mendatangkan keuntungan bagi kita atau malah menambah beban kita???cukuplah hanya kita yang tahu jawabannya.

Kita hendaknya senatiasa belajar dari figur Nabi Muhammad, beliau dengan segala kebersahajaanya dan kerendahan hatinya dapat mengendalikan segala emosi dan amarah yang datang menyelimutinya. Beliau bahkan dengan rendah hati dan ikhlas memaafkan orang-orang yang mau mencelakainya. Apa jadinya sendainya Nabi Muhammad merupakan sosok yang beringas, kejam, dan mengedepankan emosi, pastinya beliau tidak akan menyejarah dan tidak akan memiliki kesan yang positif bagi manusia hingga saat ini, sehingga tidak mengherankan seorang tokoh perdamaian dunia dari India, Mahatma Gandhi pernah mengatakan “Saya lebih yakin bahwa bukanlah pedang yang memberikan kebesaran Islam pada masanya, tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersamaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad, serta pengabdian luar biasa kepada para sahabat dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya. Semua ini (dan bukan pedang) menyingkirkan segala halangan.”

Menjelang datangnya hari yang fitri ini, marilah kita melepas segala pakaian kepalsuan dan keangkuhan yang melekat dalam diri kita dan marilah kita mencucinya dengan deterjen hati yang dapat membersihkan noda-noda tersebut sehingga kelak kita mampu menjadi manusia yang fitrah (suci).Amin…

Apa perbedaan antara si dermawan dan si kaya???

Suatu hari dalam perjalanan pulang dari Bank, saya melewati sebuah jalan alternatif untuk menghindari kemacetan. Jalan alternatif tersebut ukurannya cukup lebar, sehingga mobil seukuran truk bahkan kontainer pun dapat melewatinya. Kita pastinya tahu bahwa mobil truk dan kontainer terkadang memuat barang/muatan yang melebihi kapasitas (over load), sehingga menyebabkan beberapa bagian jalan menjadi retak bahkan berlubang, sehingga ketika hujan datang, jalan tersebut sering digenangi oleh air.

Melihat keadaan tersebut, ada seorang lelaki paruh baya yang memiliki inisiatif untuk mengambil timbunan yang terdiri dari material tanah dan batu-batuan hasil dari bongkaran rumah. Lelaki tersebut menimbun jalan tersebut agar pengendara kendaraan bermotor yang melintas dapat merasa nyaman dan aman.

Lelaki tersebut kelihatannya adalah seseorang yang hidup pas-pasan, sehingga terkadang setelah menimbun jalan berlubang tersebut, dia berdiri di tengah jalan sambil memegang sebuah kaleng bekas dan meminta sepeser uang receh atau uang kertas dari para pengendara yang melintas, barangkali ada yang ikhlas mau menyumbangkan sedikit hartanya untuk menjadi sesuap nasi.

Dari beberapa pengendara yang melintas, hanya segelintir orang yang menyumbangkan sepeser uang mereka untuk lelaki tersebut. Singkat cerita, ada sebuah mobil box yang melintas dan sopirnya singgah sejenak untuk memberikan sepeser uang dengan ikhlas kepada lelaki tersebut, sedangkan ada mobil yang cukup mewah yang melintas dimana pengendaranya bergaya cukup trendy dan berkelas, tetapi tidak memberikan apapun.

Akhirnya, terjawablah sudah pertanyaan yang membuat saya penasaran selama ini tentang “apa perbedaan antara si dermawan dan si kaya”?Ternyata, orang yang dermawan belum tentu kaya, dan orang yang kaya belum tentu dermawan.

Cerita di atas adalah salah satu contoh nyata. Meskipun sopir mobil box tersebut hidup dalam keterbatasan, tetapi itu tidak mengurungkan niatnya untuk memberi dan membantu sesama, sedangkan orang yang hidup lumayan “berkecukupan” kadang-kadang enggan untuk memberi.

Sesungguhnya, memberi tidaklah harus peduli pada jumlah dan nominalnya, tetapi lebih kepada “keikhlasan”. Saya yakin, Tuhan Yang Maha Pengasih akan senang kepada hambanya yang selalu ikhlas dalam memberi dan membantu sesama, meskipun itu dalam jumlah yang kecil, daripada mereka yang selalu menyumbang/memberi dalam jumlah yang besar tetapi cenderung riya (mengharapkan pujian).

Dalam konteks bernegara, ada banyak saudara-saudara kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hendaknya kita mengasah kepekaan sosial kita dan menghidupkan kembali budaya memberi dan membantu sesama (to give and to help), karena kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi???

Bangunan Roboh dan Korupsi

Ketika baru saja menyalakan TV, tiba-tiba saya melihat Breaking News tentang bangunan roboh yang terjadi  di dekat Pusat Grosir Metro Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sontak hati ini menjadi iba, karena  pastinya menyebabkan banyak korban yang akan tertimbun di bawahnya. Usut demi usut bangunan ini ternyata masih dalam proses pembangunan yang baru selesai sekitar 50%. Bangunan ini roboh disebabkan karena konstruksi bangunannya yang kurang kokoh, kuat , dan terpercaya mengutip sebuah bahasa pemasaran dari sebuah produk semen di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan yang merupakan milik salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia. Timbul banyak pertanyaan dalam benak ini, kenapa ini terjadi, ada apa???

Lazimnya, Ketika kita hendak membangun sebuah bangunan, katakanlah itu Mal, Hotel, Pusat perkantoran, dll. Pembangunan tempat-tempat tersebut pastinya akan diserahkan dan dipercayakan oleh sebuah developer yang bergerak di bidang konstruksi. Developer inilah yang bertugas untuk menentukan pembangunan tersebut dimulai dari tahap awal pembangunan sampai tahap akhir mencakup keseimbangan struktur bangunan, jumlah dana yang akan digunakan, dll. Setelah semua aspek-aspek yang dibutuhkan telah terpenuhi, maka tahap pembangunan segera dimulai.

Saya tiba-tiba ingat salah satu kultur busuk yang eksis di Indonesia yang telah tertular oleh virus keserakahan dan mengedepankan kenikmatan sesaat untuk meraih kejayaan diri (self-glory), yaitu budaya korupsi anggaran. Bukanlah rahasia dapur lagi, ketika ingin melakukan proyek-proyek tertentu, pasti kita dengan tanpa segan memotong kucuran dana tersebut untuk masuk dikantong sendiri. Ada banyak bangunan-bangunan di Indonesia yang baru saja dibangun dan direnovasi tetapi itu tidak berarti karena kualitasnya jauh dibawa standar yang kita harapkan. Padahal, ketika menyodorkan proposal pembangunan, kita dengan mudah meyakinkan setiap orang bahwa pembangunan tempat tersebut akan selesai dengan hasil yang kita harapkan , tetapi kenyataannya kontra-produktif. Mungkin hal di atas adalah salah satu contohnya, karena sibuk mementingkan diri sendiri untuk meraih keuntungan yang berlipat ganda, para stakeholder dalam pembangunan gedung ini dengan rela memangkas sejumlah anggaran untuk masuk di kantong sendiri dengan cara mengurangi jumlah semen-nya sehingga konstuksinya sangat tidak kokoh dan terjadilah musibah ini, sungguh sangat disayangkan.

Selain itu, masih banyak contoh-contoh lain yang sering terjadi di tanah air kita, katakanlah pembangunan jalan di Indonesia. Banyak jalan di Indonesia baru saja dibangun, tetapi beberapa bulan kemudian sudah banyak yang retak. Mengapa??? Bukankah, developer sudah mengetahui keseimbangan dari bahan dasar untuk membuat jalanan yang lumayan kokoh. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Atas dasar ini, pastinya, ada yang salah dalam manajemen pembangunannya, tidak lain dan tidak bukan, yaitu terjadinya korupsi anggaran untuk masuk di kantong sendiri sehingga mengurangi kualitas yang kita harapkan.

Apakah mereka tidak sadar, bahwa ketika konstruksi bangunan yang tidak kokoh tersebut tiba-tiba runtuh, ini tentunya akan menimbulkan banyak korban dimana-mana. Apa jadinya apabila yang menjadi korban adalah keluarga terdekat dari orang-orang yang melakukan korupsi anggaran ini., pasti mereka akan merasa menyesal setengah mati. Jadi, sebelum bencana menimpa keluarga anda, hindarilah kultur buruk ini agar anda tidak terperosot dalam penyesalan yang berkepanjangan yang akhirnya akan menyebabkan gangguan psikologi dan mental bagi anda. Karena itu, Mari kita senantiasa menjadi pribadi yang baik dan jujur dengan jalan merobohkan bangunan ke-aku-an kita agar tidak tertimbun dibawah reruntuhan budaya KORUPSI, sehingga kita bisa menjadi manusia yang terhormat, baik di mata manusia itu sendiri lebih-lebih di mata Tuhan.