Satu hal yang menarik dari pemandangan di sekitar rumah saya di dusun Ngaglik, Sleman, Yogyakarta adalah tingginya kesadaran yang dimiliki oleh para warga dalam menjaga kebersihan. Ini dapat saya lihat, dari isi dan pekarangan rumah mereka yang sangat bersih, didukung oleh beranda rumah yang sungguh mengkilap lantainya. Hal ini secara langsung mempengaruhi cara hidup saya di kota ini.
Ketika bangun pagi, saya terkadang dibuat takjub akan tradisi kebersihan yang sangat dujiunjung tinggi oleh para warga.Tidak pandang bulu, baik laki-laki maupun perempuan saling bekerja sama untuk menjaga kebersihan dalam rangka menciptakan suasana yang nyaman, sejuk, dan tenteram untuk keluarga dan masyarakat di sekitar mereka. Dalam hal ini, mereka menerapkan apa yang dikatakan kesetaraan gender dalam pembagian kerja, karena terkadang ada sebuah tradisi yang telah terpatri dalam masyarakat kita bahwa, menjaga kebersihan (baca: membersihkan rumah) hanya tugas seorang perempuan.
“Bersih pangkal sehat, rajin pangkal pandai”, itulah semboyan yang biasa diajarkan ketika kita masih duduk di bangku SD. Ada kalanya saya berpikir, bahwa semboyan tersebut hanya sebagai pemanis bibir belaka, bagaimana tidak? realitanya, banyak dari kita masih mengabaikan hal tersebut. Khusus dalam hal kebersihan, masyarakat Yogya sejak kecil telah ditanamkan agar senantiasa menjaga kebersihan. Salah satunya adalah orang tua memberi contoh kepada anak-anak mereka akan bagaimana menghadirkan suasana yang bersih dan sejuk dalam lingkungan rumah mereka, agar mampu terinternalisasi dalam alam bawah sadar sang anak, sehingga dapat diaplikasikan kelak, karena tak dipungkiri secara psikologis children learn what they see and live.
Meskipun, terkadang ada nada sumbang yang mengatakan bahwa orang Yogya adalah orang yang masih kuat menjaga tradisi nenek moyang mereka yang bercorak Hindu- Budha dalam keberislaman mereka yang sering disebut Sinkretisme. Akan tetapi, disi lain menurut hemat saya, bahwa umat Islam di Yogya telah berhasil mengaplikasikan nilai–nilai Islam dimana “kebersihan adalah sebagian dari iman” adalah budaya hidup mereka sehari-hari. Terkadang hal ini luput dalam benak sebagian saudara kita khususnya yang beragama Islam, mereka sadar bahwa Islam mencakup segala hal, akan tetapi pada pelaksanaanya lebih banyak melakukan ajaran Islam hanya dalam segi normatifnya saja yaitu Salat, puasa, mengaji, dll tanpa menyentuh inti persoalan yang sebenarnya (baca: kesalehan sosial).
Kebersihan dan Kebangsaan
Menjamurnya banyak masalah kemanusiaan akhir-akhir ini di Indonesia seperti banjir, korupsi, terorisme, dsb sebenarnya dipicu akibat kurangnya kesadaran kita dalam merenungi hakikat kehidupan. Bagaimana tidak, apabila kebersihan sendiri yang notabene masih merupakan hal yang kecil, tak mampu kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari, maka bisa dipastikan hal-hal yang besar akan kita abaikan pula, bukankah sesuatu yang besar berawal dari hal yang kecil?
Dalam sebuah kunjungan ke Sydney, saya takjub akan kebersihan yang dikelola dengan baik baik dalam level individu maupun dalam level pemerintahan. Bagaimana system pengelolaan sampah disana dikelola dengan baik, dimana setiap warga diwajibkan untuk menyimpan tiga box tempat sampah yang berbeda meliputi sampah organik, recycle, food scrap (sisa makanan) di rumah masing-masing. Tak lupa ibu dan ayah mengajar dan membimbing anak mereka agar membuang sampah di tempat yang benar dan tepat. Setiap senin malam tiap minggunya, saya sering ditugaskan oleh ibu angkat saya untuk meletakkan tiga box sampah tersebut di depan rumah, keesokan paginya box sampah tersebut isinya telah kosong dan bersih karena sampahnya diambil oleh pihak pemerintah yang khusus menugaskan orangnya untuk mengurusi bidang kebersihan.
Sepanjang jalan, hampir sulit ditemukan debu karena setiap tengah malam, mobil pembersih sampah menyedot debu-debu di jalan. Sepanjang jalan kurang lebih setiap 250 meter dengan mudah kita temukan tempat sampah, sehingga mempengaruhi psikologi seseorang untuk tidak membuang sampah secara sembarangan, karena apa guna tempat sampah tersebut bila tidak digunakan sebagaimana mestinya. Meskipun kebanyakan penduduk di Sydney tidak beragama secara formal tetapi mereka menerapkan nilai-nilai Islam. Sehingga menurut hemat saya, Islam ternyata hidup di kota ini karena ayat-ayat Tuhan dengan mudah kita temukan dimana-mana, yaitu seruan akan pentingnya menjaga kebersihan. Mengapa negara kita yang notabene berlandaskan agama justru lupa menerapkan nilai-nilai Islam tersebut, lantas dimana keberagamaan kita?
Menurut hemat penulis, selain faktor pendidikan keluarga yang memainkan peran sentral dalam hal ini. Perlu juga ditekankan kepada pemerintah agar lebih konsen mengurusi kebersihan, bila perlu didukung dengan aturan yang nyata dan sanksi yang tegas bagi mereka yang membuang sampah tidak pada tempatnya, yang mencemari lingkungan, dan yang merusak keseimbangan alam. Aturan jangan hanya menjadi pemanis di bibir belaka dalam rangka pencitraan. Pemerintah lupa bahwa bila mereka menerapkan system yang nyata dan tegas, maka kelak mereka akan selalu dikenang di hati rakyat karena penerapan aturan yang implementatif ini akan dirasakan manfaatnya secara nyata.
Begitu juga halnya dengan dunia pendidikan formal, khususnya pelajaran agama diharapkan mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam mengajarkan para siswa tentang bagaimana menjawab persoalan kehidupan yang pelik dewasa ini, seperti halnya menjaga kebersihan lingkungan dan keseimbangan alam. Ada baiknya para guru agama di sekolah tidak hanya mengajarkan tentang ritual-ritual agama semata dan lupa akan persoalan yang lebih esensial yang dihadapi oleh umat.
Baiknya pula, sang guru agama suatu ketika mengajak murid-muridnya berkunjung ke sebuah daerah yang katakanlah terkena bencana banjir bandang. Disana sang guru diharapkan mampu memberi pelajaran berharga kepada para siswanya agar tidak serakah pada alam seperti membuang sampah di bantaran kali dan menebang hutan secara membabi buta sebagai tindakan preventif untuk meredam bencana. Selain itu, manfaat dari kunjungan tersebut juga diharapkan mampu mengajarkan murid akan arti kepedulian sosial untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana. Bukankah sesuatu yang pernah kita lihat dan alami secara langsung tentunya mampu memberikan efek transformasi positif bagi diri kita untuk berbuat yang terbaik ke depannya, bukan begitu?
Jadi, semakin tinggi tingkat peradaban suatu bangsa, semakin tinggi pula semangat mereka dalam menjaga kebersihan, maukah kita menjadi bangsa yang beradab? Kalau begitu, sekarang waktunya untuk memulai, jangan ada kata terlambat.
Yogyakarta, 15 Desember 2010